Sisingamangaraja XII dan Nommensen : Diantara Harga Diri Dan Takdir Bangsa Batak Bagian 3
Jadi tulisan sebelumnya sudah secara singkat menulis bagaimana Misi Nommensen bisa mengahiri Kebudayaan dan Peradaban yang dipercaya adalah yang terbaik yang pasti merupakan harga diri dan kehormatan Bangsa Batak.
Contoh kecil saja pengobatan ala medis yang dikenalkan Nommensen sudah sangat ampuh mempengaruhi opini masyarakat akan pengobatan tradisional lewat Datu, dimana Datu dalam melalukan ikut harus melakukan sebuah Ritual sementara Nommensen hanya memberi minum obat.
Maka wajarlah Sisingamangara XII akan melakukan segala upaya untuk membela harkat, martabat kaumnya yang dirasa akan dihancurkan oleh Misi Zending RMG (Nommensen). Siapapun orang orang yang menghargai Bangsa dan Negaranya akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Sisingamangaraja.
Disisi lain Nommensen juga punya Misi untuk menyampaikan Kabar Baik, misi yang dia akan anggap membawa perubahan dan merupakah kewajiban dari keyakinannya untuk menyampaikan itu, Jadi Misi Zending RMG untuk meng-Kristen Batak agar tidak lebih dulu lebih dulu di Islamkan oleh Aceh atau Minang (Sesuai buku Uli Kozok: Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba) untuk membuat ada pemisah antara Islam Aceh dan Islam Minang adalah hal lumrah untuk keyakinan semua agama. Konyol untuk mempermasalahkan ini.
Dalam catatan Perjalan Fernand Mendez Pinto (The voyages and adventures of Fernand Mendez Pinto. Done into Engl. by H.C yang terbit tahun 1653, Pinto mencatat bahwa ketika utusan Raja Batak bernama Aquareem Dabolay saat hendak pulang ke Tanah Batak telah berdoa dengan mengangkat tangannya di Depan Gereja di Malaka mengatasnamakan Bangsa Batak akan setia Pada Allah/Tuhan Portugal dan akan membangun “Candi” (Gereja) di tanah Batak, setelah mendapat Jaminan Persenjataan dan Perlengkapan untuk melawan Aceh dari Kapten Portuga di Malaka yang baru di jabat waktu itu oleh Pedro de Paris.
Selanjutnya Saat Pinto mengunjungi Tanah Batak sesaat sebelum bertemu Raja Batak Angeessery Timorraia (Anggi Sori Timoraya – penulis), seorang wanita tua menyambutnya dan berkata juga padanya : “………sejak harapan yang kita miliki dalam Tuhan yang sama membuat kita percaya bahwa ia akan mempertahankan kita semua bersama-sama sampai akhir dunia”.
Dua orang Bangsa Batak di tahun 1539 di dua tempat berbeda telah mengakui (bisa jadi sebuah harapan) untuk mengabdi pada Tuhan Bangsa Portugal.
Paska kejatuhan Kerajaan Batak ketangan Kerajaan Aceh tahun 1539 sesui Surat Sultan Aceh, Nomenson yang Mulia misinya di Sumatera tahun 1862, jadi ada jeda sekitar 323 Tahun mulainya misi memenuhi Doa dan Harapan kedua Orang Batak diatas.
Nommesen seperti pemenuhan takdir seperti yang diharapkan Nenek Moyang kita.