Cari

Membaca Patung Primitif Batak Sebagai Teks Filsafat Tersembunyi

Posted 04-12-2014 10:32  » Team Tobatabo

Patung Primitif sebagai teori Sinoptik

Kehadiran suatu patung pada suatu tempat atau zona suci diakui sebagai penanda kehadiran suatu kuasa atau kekuatan transenden. Patung sebagai materi dipercaya memiliki energi kekuatan yang dapat mengkontrol atau memonitor kehidupan warga. Patung dipercaya sebagai spion segala aktivitas warga, kadang justru lebih takut terhadap patung dari pada manusia. Patung dianggap memiliki mata yang mampu menembus ruang, oleh sebab itu sangat ditakuti. Patung ditempatkan pada setiap bahagian vital desa, seperti pada batas desa, pintu gerbang desa, pada homban (mata air), di ladang atau sawah, sehingga dipercaya bahwa kemanapun seseorang pergi akan selalu diamati energi pada patung. Bicara tak sopan, apalagi berbuat immoral (bukan amoral) pada tempat tersembunyi sekalipun dipercaya dapat didengar atau dilihat roh-roh penghuni patung. Oleh sebab itu kehadiran patung dipercaya mampu memantau aktifitas masyarakat yang memeliharanya.

Penempatan patung Pangulubalang di ladang, atau di bawah pohon jabi-jabi sebenarnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa, namun dengan adanya patung dianggap mampu menjaga keamanan desa, menjaga hasil ladang dari pencuri dan hama. Hal ini karena ada suatu keyakinan bahwa patung yang digantung di pohon atau diletakkan di tanah memiliki mata majemuk yang mampu melihat dan melaporkan siapa saja yang berusaha mencuri atau merusak ladang.

Oleh sebab itu patung (inklusif anima yang diisi di dalamnya) dapat menjamin keamanan hasil ladang dari pencurian. Patung Pangulubalang sangat ampuh untuk menjaga ladang, rahasia keampuhannya sebenarnya hanyalah terdapat pada isi cerita yang terkandung pada patung yang telah merasuki syaraf-syaraf kesadaran dan pengertian akan kebenaran otoriter dari generasi ke generasi dalam kepercayaan masyarakatnya.

Patung sombaon yang ditempatkan di atas bukit, gunung atau di tombak (hutan) atau homban (mata air) adalah sebagai kontrol lingkungan. Nenek moyang orang Batak telah begitu arif menjaga keseimbangan lingkungan, tidak sembarangan menebang kayu di hutan, dilakukan ritual mangelek pangisini tombak (mohon ijin pada penghuni hutan), dan dengan arif selalu menjaga debit dan kejernihan air untuk kebutuhan warga kampung. Mereka telah lebih dahulu mengerti yang disebut dengan tebang pilih dan dampak pencemaran lingkungan dari pada masyarakat kini yang mengklaim diri lebih beradab dari pada nenek moyangnya.

Patung ibarat cermin cembung yang ditempatkan pada setiap sisi suatu swalayan, yang mampu menangkap gambar virtual dengan sudut yang begitu luas. Pengunjung swalayan merasa dipantau oleh cermin-cermin yang berada pada setiap sudut, oleh sebab itu akan membatalkan niat-niat buruk yang direncanakannya. Efektifitas cermin sebenarnya adalah terletak pada prasangka dalam hati pengunjung itu sendiri yang merasa diamati dari setiap sudut bangunan. Cermin mampu meminimalkan petugas, dan sebenarnya cermin itu sendiri tidaklah mampu memantulkan gambar virtual segala gerak-gerik pengunjung.

Patung primitif melebihi kekuatan fungsi cermin cembung, patung tidak perlu hadir dalam setiap aktivitas warga. Eksistensi patung dikemas dalam mitos dan magis, bukan saja mampu menghindari pencurian, melainkan sebagai kontrol moral dan kontrol lingkungan agar senantiasa terjaga. Sosok patung tidak perlu realis, tetapi mitos mampu menterjemahkan sosok patung menjadi melebihi bentuk realis, dan mempunyai kekuatan yang luar biasa walau bentuknya hanya berupa seonggog batu atau kayu. Patung primitif malah lebih ditakuti dari hukum adat sekalipun, karena dipercaya mampu membuka tabir rahasia yang hukum adat tidak mampu.

Anima yang dimasukkan dalam patung dipercaya lebih superior dari pada alam nyata. Cerita mitos dan ritus yang dilakukan terhadap patung merupakan penegasan koheren yang rumit tentang realitas akhir (ultimate) segala sesuatu, sistem yang dapat dipandang sebagai bahan metafisik. Kehadiran patung dipercaya mampu memantau, menilai, memberikan informasi dan sekaligus menghukum orang-orang yang melanggar tertib kosmis. Orang tidak mampu lari dari kekuatan anima patung, ia selalu tunduk dalam kesadaran kosmis, tidak berdaya untuk menembus realitas di balik nilai-nilai patung primitif itu. Patung primitif menjadi simbol yang memiliki daya kekuatan yang melekat. Dengan tidak disadarinya, kehadiran patung sebenarnya telah menciptakan keseimbangan lingkungan, kesadaran moral dan kesadaran penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Bentuk patung primitif akhirnya hanya sebagai simbol, yang mampu menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya sendiri. Bumbu mitos membuat orang dapat mencerap makna sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imajinatif. Konsepsi adalah yang pertama-tama diperlihatkan pemikiran. Konsepsi patung primitif sendiri tercipta menurut prinsip-prinsip pengetahuan yang mendasar: bahwa suatu objek yang dipikirkan menentukan identitasnya (seperti yang diajukan Aristoteles) (“A” = “A”, dan “A” ¹ non “A”). Bahwa hal ini mungkin terdiri dari banyak hubungan dengan hal-hal yang lain, bahwa alternatif kemungkinan-kemungkinan saling meniadakan satu dengan yang lainnya, serta keputusan yang satu butuh kaitan yang lainnya. Untuk apa saja yang dinamainya menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam pikirannya.

Kebenaran daya energi dalam patung diterjemahkan konsepsi mitos dan religi yang berakar dalam masyarakat Batak lama. Konsepsi membimbing pengertian yang sebenarnya ia tidak mengerti. Defenisi mutlak adalah milik datu sebagai mediator dengan roh-roh leluhur dan dewa-dewa. Masyarakat tidak memiliki nilai subjektif yang otonom tentang patung itu. Konsep dan pengertian berlaku universal serta mutlak, manusia Batak tidak berkuasa akan pengertiannya sendiri. Pengertian telah terpatri dan mendapat dukungan secara turun-temurun dalam masyarakat. Menterjemahkan sendiri dan tidak taat dengan konsepsi universal adalah tokka (larangan suci, tabu) dan bisa kualat.

Jika kita mengamati perilaku manusia Batak lama (pra modern), kita dikejutkan oleh fakta berikut. Objek dunia lahiriah maupun tindakan manusia, dalam arti yang tepat, sama sekali tidak memiliki nilai intrinsik yang otonom. Objek maupun tindakan mendapatkan nilai, dan dengan begitu menjadi nyata, karena mereka berpartisipasi, menurut salah satu cara atau cara yang lain, dalam realitas yang mengatasi mereka. Di antara berbagai batu yang tidak terhitung jumlahnya, salah satu batu menjadi suci dan oleh karenanya dengan serta merta penuh dengan ada karena ia merupakan hierophany, atau memiliki sahala (mana), atau karena ia memperingati tindakan mitos, sombaon (hunian roh leluhur) dan sebagainya.

Patung primitif Batak adalah presentasi yang sebenarnya tentang suatu perasaan dan pengalaman dari dahsyatnya alam yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Dengan demikian patung adalah suatu teks atau bahasa mereka mengungkapkan pikiran-pikirannya. Alam yang misterius dan mistis dipahami lewat religi dan seni. Seni adalah bentuk simbol imanen ekspresi atau emosi yang bersifaf transenden.

Dengan seni sebagai simbol perasaan, manusia menemukan kebebasannya, manusia tahu mentransmisikan pengetahuannya secara baik dalam rangka memahami pengalaman fisik yang sebenarnya merupakan refleksi dari hal yang bersifat non fisik. Patung yang ada secara keseluruhan merupakan citra perasaan yang disebut simbol seni. Patung dipercaya sebagai protektor, pesuruh dan pengontrol kehidupan manusia.

PENUTUP

Sesuatu yang naif jika menjadi alergi terhadap artefak-artefak Batak, hanya dengan ketidakpahaman membacanya. Apalagi alergi itu muncul ketika ia menerima atau menganut ajaran modern yang ia sendiripun sebenarnya belum begitu paham membaca teks simbol-simbol modernitas. Meninggikan kepercayaan lama yang belum dipahami dan dengan menerima ajaran baru dengan tafsir sendiri akan menjadi gamang. Akibatnya apa yang dilaluinya tak terpahami olehnya.

Nilai-nilai filsafat Patung primitif Batak merupakan kearifan lokal yang harus diimplementasikan dalam setiap kehidupan masyarakat Batak. Patung primitif Batak salah satu penanda agar manusia yang hidup pada masa sesudahnya menemukan kearifan dari peristiwa yang pernah terjadi. Dalam nyawa benda “tak hidup” itu kita memahami rahasia alam, dengan mempelajari dan memahami makna patung primitif itu akan dapat mengungkap pandangan hidup masyarakat pendukungnya, sehingga patung-patung primitif Batak sebagai artefak merupakan ensiklopedi tentang eksistensi masyarakt Batak.

Tidak heran justru nilai-nilai moral, lingkungan, kemanusiaan dan ketuhanan dapat dipelajari dari penanda-penanda masa lalu. Kearifan lokal suku bangsa Batak memberikan konstribusi kepada nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi bangsa Indonesia. Semakin nyata bahwa nilai-nilai Pancasila adalah merupakan kristalisasi dari nilai-nilai filosofi suku-suku di Indonesia, sehingga penjabaran dari kelima sila dapat menyentuh sendi-sendi kehidupan setiap masyarakat Indonesia. Eksistensi patung primitif kini harus disikapi dengan meninggalkan sifat keberhalaan, patung sebagai karya cendikia nenek moyang Batak harus lebih dipandang sebagai karya seni adi luhung yang sarat dengan ajaran-ajaran moral.

Patung primitif sebagai karya seni masa lalu atau artefak merupakan sebuah teks yang mampu membimbing manusia kini untuk menelusuri kearifan manusia masa lalu guna mempelajari budaya kini dan sebagai proyeksi untuk masa depan. Di balik itu patung juga berfungsi sebagai teks yang bicara dan menjelaskan pola pikir masyarakat pendukungnya. Pemahaman patung primitif dengan kaitan keberhalaan sudah harus ditinggalkan. Patung ibarat teks-teks yang rumit yang perlu dibaca dan diterjemahkan, dan filsafat adalah satu-satunya formula untuk mengungkap kecerdasan dan pandangan hidup orang Batak itu.

 

Oleh : Drs Daulat Saragi Sidabalok MHum.

Dosen UNIMED, Candidat Doktor Ilmu Filasafat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta/o)

 

 

Sumber