Cari

Elemen Masyarakat Sumatera Utara Gelar Doa untuk Sitor Situmorang

Posted 03-01-2015 12:07  » Team Tobatabo

Sejumlah elemen masyarakat di Sumatera Utara menggelar doa bersama serta malam apresiasi untuk sastrawan nasional, Sitor Situmorang yang telah meninggal dunia, 20 Desember 2014 lalu, di kediamaannya di Belanda. Kegiatan yang digelar Rumah Karya Indonesia (RKI) bekerjasama dengan sejumlah komunitas seni dan pegiat lingkungan. Antara lain, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, Bale Marojahan, Pusat Latihan Opera Batak (PLOt),  Medan Seni Payung Teduh, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, Forum Sisingamangaraja XII, Suara Sama, Jendela Toba, Komunitas Bumi. Kegiatan ini dilakukan di dua tempat. Yakni Taman Budaya Sumatera Utara pada tanggal 22 dan 23 Desember 2014, pukul 16.00-22.00 WIB.

Sedangkan kegiatan khusus akan digelar di tanah kelahiran Sitor Situmorang, Harian Boho, 29 Desember 2014 mendatang. Berbagai materi telah dipersiapkan antara lain, pembacaan puisi dan cerpen Sitor, pemutaran film tentang Sitor, menulis puisi untuk Sitor, orasi budaya, pertunjukan musik tradisi, testimoni serta diskusi terbuka dengan topik, “Sitor; karya dan perjalanan hidupnya”. Hal ini disampaikan Manajer Program RKI, Ojak Manalu, melalui siaran persnya.

“Indonesia telah kehilangan salah satu putera terbaiknya, Sitor Situmorang. Kita mengenal Sitor sebagai sastrawan angkatan 45 yang hidup di tiga zaman. Padahal Sitor lebih dari itu, dia adalah juga tokoh nasional yang berasal dari Sumatera Utara. Di masa hidupnya dia telah berkontribusi bagi bangsa ini, baik melalui karya sastra maupun pemikiran budaya, sejarah dan politiknya. Karena itu kami mengundang siapa saja yang ingin terlibat dalam kegiatan ini,” jelas Ojak.

Di tempat terpisah Direktur Plot, Thompson Hs, mengatakan bahwa dunia internasional telah mengenal Sitor. Begitu juga dengan bangsa Indonesia. Tetapi apakah masyarakat Sumatera Utara, khususnya Harian Boho, tempat beliau dilahirkan mengenal Sitor dan karya-karyanya?

“Di Bandung sendiri, para seniman telah beberapa kali menggelar doa dan malam apresiasi untuk Sitor,  ketika mendengar beliau jatuh sakit di Belanda. Ini membuktikan nama besar Sitor. Pemerintah dan masyarakat Sumatera Utara mempunyai tanggungjawab moral terhadap ‘Penyair Danau Toba’ ini,” jelas Thompson.

Diakui Thompson, Sitor pernah mengatakan kepadanya, bahwa bagaimanapun ia adalah juga masyarakat Sumatera Utara dan Batak. Pernyataan ini, bagi Thompson harus direfleksikan semua orang. Apalagi salah satu puisinya berjudul “Tatanan Pesan Bunda” Sitor menuliskan bahwa ia ingin dikuburkan di samping ibunya di Danau Toba.

“Sitor adalah pribadi yang kompleks. Ia seorang sastrawan, wartawan, pemikir kebudayaan dan juga pecinta lingkungan. Ia sangat mencintai kampung halamannya, Harian Boho yang berada di pinggir Danau Toba. Hal itu tertuang dalam karya-karyanya,” tambah Thompson.

Dihargai di Negeri Orang

Pendapat sama disampaikan Pembina KSI yang juga pegiat budaya Batak di Sumut, Idris Pasaribu. Idris menyampaikan pemerintah Indonesia, khususnya Sumatera Utara, harus memberi perhatian kepada Sitor. Sebab ia bukan hanya sastrawan, tetapi juga cendikiawan yang sudah dikenal di tingkat dunia.

“Jangan lagi ada ada putera Indonesia, khususnya Sumatera Utara yang terbaikan di daerahnya sendiri. Padahal ia sangat dihargai di  negara asing. Sudah ada contoh, Ben M Pasaribu yang namanya menggema di manca negara tapi tidak diapresiasi pemerintah. Begitu juga Sitor Situmorang. Siapa yang tidak mengenal Sitor?” tanya Idris.

Seperti kita tahu Sitor adalah sastrawan angkatan 45 yang paling produktif.  Sampai usianya 90 tahun, ia masih tetap menulis. Beberapa karya Sitor yang mendapat penghargaan antara lain; “Pertempuran dan Salju di Paris” (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional 1955 dan kumpulan sajak “Peta Perjalanan” meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976. Karyanya yang menyentak adalah “Toba Na Sae” yang telah berkali-kali dicetak ulang.

Salah satu puisinya, yang paling diperdebatkan adalah “Malam Lebaran”. Puisi satu baris ini, diperbincangkan para akademis sastra dunia, selama berpuluh-puluh tahun. Sitor memulai kariernya dalam bidang jurnalistik. Ia menjadi wartawan harian Suara Nasional dan harian Waspada pada 1945-1947. Ia pernah menjadi dosen Akademi Teater Nasional Indonesia serta anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan seniman.

 
 
 
 
 
Bonapasogit | 10 tahun yang lalu
Bonapasogit | 10 tahun yang lalu
Bonapasogit | 10 tahun yang lalu