Makan Ikan Bakar Di Ajibata Parapat
Sepertinya saya salah hari ketika jalan-jalan ke Parapat untuk menyaksikan keindahan Danau Toba dari dekat. Saya ke sana pada hari Jumat, di mana sedikit sekali wisatawan yang berlibur pada hari itu. Jalanan yang saya lalui lengang, hanya bertemu satu dua mobil saja yang melintas. Kondisi penginapan, villa dan hotel juga tak jauh beda. Hanya di penyeberangan kapal menuju ke Tomok saja yang terlihat ada kegiatan. Penduduk lokal bukan orang yang sedang jalan-jalan, saya pikir.
Setelah puas menjelajah berbagai sudut, ada beberapa toko penjual souvenir dan buah-buahan yang buka, saya bingung juga mau ngapain lagi. Nunggu sunset, di Danau Toba jam 6 sore ternyata masih terang benderang. Akhirnya teman saya yang mengantar jalan-jalan ini menawarkan untuk mencoba makanan khas Batak, Naniura. Naniura adalah ikan yang tidak perlu dimasak, hanya dibumbui dengan rendaman asam jungga (asam khas Batak) dan andaliman.
Mata kami menyapu deretan rumah makan yang ada di sepanjang jalan Ajibata, di depan pelabuhan penyeberangan ke Tomok. Ada yang menjual babi panggang. Ada juga yang menawarkan masakan untuk muslim. Akhirnya saya masuk ke dalam salah satu rumah makan. Rumah makan Siraja Oloan, milik Bapak Sihotang dan Ibu Boru Sinaga. Menanyakan apakah tersedia Naniura di rumah makan tersebut. Ternyata nggak ada. “Saya biasanya masak Naniura kalau ada yang pesan saja. Misalnya datang Sabtu dipesan, Minggunya baru ada Naniura,” jawab ibu pemilik warung.
Ya sudahlah, karena sudah terlanjur masuk ke dalam warung, akhirnya saya memesan ikan bakar saja, dengan sambal khasnya. Itu namanya Tombur ya? (cmiiw) Ikan bakar ini sudah matang sebenarnya. Mereka disusun berderet di etalase depan rumah makan, sehingga terlihat oleh pengunjung yang melintas di jalan. Ketika saya memesan satu buah, baru diambil, dan disiapkan sambalnya.
Teman bercerita, Parapat ini mulai ditinggalkan wisatawan karena penduduk lokal yang menggantungkan usahanya dari jasa pariwisata tidak mau “menjaga” asetnya sendiri. Wisatawan lokal saja mereka kenai harga yang jauh melambung dari harga biasanya, apalagi turis asing, yang seringkali jadi sasaran mereka. Saya sih, nggak begitu saja percaya. Sampai pada saat saya setengah proses menghabiskan ikan bakar saya, masuklah seorang ibu dengan bahasa lokal memesan tiga ekor ikan. “Baru tiba dari seberang,” katanya.
Ketika proses memasak ikan dan sambalnya sudah selesai, saya melirik berapa uang yang dibayarkan oleh pembeli. Selembar pecahan lima puluh ribu rupiah diulurkannya. Dan entah berapa ibu pemilik warung memberi kembalian, yang pasti, masih ada sisanya. Saya, hanya bisa tersenyum kecut ketika bertanya berapa harga yang harus saya bayar. Rp. 30.000,-