Sari Matua, Saur Matua & Mauli Bulung di Tengah Masyarakat Batak
Berbicara tentang Sari Matua, Saur Matua dan Mauli Bulung adalah berbicara tentang kematian seseorang dalam konteks adat Batak.
Adalah aksioma, semua orang harus mati, dan hal itu dibenarkan oleh semua agama. Bukankah pada Kidung Jemaat 334 disebut: “Tiap orang harus mati, bagai rumput yang kering.
Makhluk hidup harus busuk, agar lahir yang baru. Tubuh ini akan musnah, agar hidup disembuhkan. di akhirat bangkitlah, masuk sorga yang megah.”
Selain yang disebutkan diatas, masih ada jenis kematian lain seperti “Martilaha” (anak yang belum berumah tangga meninggal dunia), “Mate Mangkar” (yang meninggal suami atau isteri, tetapi belum berketurunan), “Matipul Ulu” (suami atau isteri meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil), “Matompas Tataring” (isteri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil).
Sari matua
Tokoh adat yang dihubungi Ev H Simanjuntak, BMT Pardede, Constan Pardede, RPS Janter Aruan SH membuat defenisi : “Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).
Mengacu kepada defenisi diatas, seseorang tidak bisa dinobatkan (dialihkan statusnya dari Sari Matua ke Saur Matua. Namun dalam prakteknya, ketika hasuhuton “marpangidoan” (bermohon) kepada dongan sahuta, tulang, hula-hula dan semua yang berhadir pada acara ria raja atau pangarapotan, agar yang meninggal Sari Matua itu ditolopi (disetujui) menjadi Saur Matua.
Sering hasuhuton beralasan, “benar masih ada anak kami yang belum hot ripe (kawin), tetapi ditinjau dari segi usia sudah sepantasnya berumah tangga, apalagi anak-anak kami ini sudah bekerja dan sebenarnya, anak kami inilah yang membelanjai orang tua kami yang tengah terbaring di rumah duka.
“Semoga dengan acara adat ini mereka secepatnya menemukan jodoh (asa tumibu dapotan sirongkap ni tondi, manghirap sian nadao, manjou sian najonok). Status Sari Matua dinaikkan setingkat menjadi Saur Matua seperti ini ditemukan pada beberapa acara adat.
Tokoh adat diatas berkomentar, permintaan hasuhuton itu sudah memplesetkan nilai adat yang diciptakan leluhur. Pengertian Sari Matua, orang itu meninggal, sebelum tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan anak-anaknya. Tidak diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan.
Mereka memprediksi, terjadinya peralihan status, didorong oleh umpasa yang disalah tafsirkan yakni: “Pitu lombu jonggi, marhulang-hulanghon hotang, raja pinaraja-raja, matua husuhuton do pandapotan.” (semua tergantung suhut).
Umpasa ini sasarannya adalah untuk “sibuaton” (parjuhutna-boan), karena bisa saja permintaan hadirin parjuhutna diusulkan lombu sitio-tio atau horbo, tetapi karena kurang mampu, hasuhuton menyembelih simarmiak-miak (B2), atau sebaliknya jika mampu, simarmiak-miak marhuling-hulinghon lombu, simarmiak-miak marhuling-hulinghon horbo.
Faktor lain ujar mereka, adanya “ambisi” pihak keluarga mengejar cita-cita orang Batak yakni hamoraon, hagabeon, hasangapon. Selanjutnya, dongan sahuta, terkesan “tanggap mida bohi”, karena mungkin pihak hasuhuton orang “terpandang”.
Sebenarnya, untuk meredam “ambisi” hasuhuton, senjata pamungkas berada ditangan Dongan Sahuta. Benar ada umpasa yang mengatakan : “Tinallik landurung bontar gotana, sisada sitaonon dohot las ni roha do namardongan sahuta, nang pe asing-asing margana.”
Tetapi bukankah ada umpasa yang paling mengena: “Tinallik bulu duri, sajongkal dua jari, dongan sahuta do raja panuturi dohot pengajari.” Mereka harus menjelaskan dampak negatif dari peralihan status Sari Matua ke Saur Matua berkenaan dengan anak-anak almarhum yang belum hot ripe.
Artinya, jika kelak dikemudian hari, anak tersebut resmi kawin, karena dulu sudah dianggap kawin, tentu dongan sahuta tidak ikut campur tangan dalam seluruh kegiatan/proses perkawinan. Barangkali, bila hal itu diutarakan, mungkin pihak hasuhuton akan berpikir dua kali, sekaligus hal ini mengembalikan citra adat leluhur.
Selanjutnya, ada pula berstatus “Mate Mangkar” berubah menjadi Sari Matua, karena diantara anaknya sudah ada yang berumah tangga namun belum dikaruniai cucu. Hasuhuton beralasan, parumaen (menantu) sudah mengandung (“manggora pamuro”). Hebatnya lagi, parjuhutna (boan) sigagat duhut (bukan simarmiak-miak merhuling-hulinghon horbo).
Saya kurang setuju menerima adat yang demikian”, ujar Ev H Simanjuntak. Lahir dulu, baru kita sebut Si Unsok atau Si Butet, kalau orang yang meninggal tadi dari Mate Mangkar menjadi Sari Matua, lalu ompu si apa kita sebut? Ompu Sipaimaon?”, katanya memprotes.
Kalau hanya mengharapkan manjalo tangiang menjadi partangiangan, kenapa kita sungkan menerima apa yang diberikan Tuhan kepada kita, sambungnya. Soal boan sigagat duhut, menurut Simanjuntak, hal itu sudah melampaui ambang batas normal adat Batak. Seharusnya simarmiak-miak, karena kerbau adalah ternak yang paling tinggi dalam adat Batak, tegasnya.
Ulos tujung dan sampe tua
Ulos tujung, adalah ulos yang ditujungkan (ditaruh diatas kepala) kepada mereka yang menghabaluhon (suami atau isteri yang ditinggalkan almarhum).
Jika yang meninggal adalah suami, maka penerima tujung adalah isteri yang diberikan hula-hulanya. Sebaliknya jika yang meninggal adalah isteri, penerima tujung adalah suami yang diberikan tulangnya. Tujung diberikan kepada perempuan balu atau pria duda karena “mate mangkar” atau Sari Matua, sebagai simbol duka cita dan jenis ulos itu adalah sibolang.
Dahulu, tujung itu tetap dipakai kemana saja pergi selama hari berkabung yang biasanya seminggu dan sesudahnya baru dilaksanakan “ungkap tujung” (melepas ulos dari kepala).
Tetapi sekarang hal itu sudah tidak ada lagi, sebab tujung tersebut langsung diungkap (dibuka) oleh tulang ataupun hula-hula sepulang dari kuburan (udean). Secara ratio, yang terakhir ini lebih tepat, sebab kedukaan itu akan lebih cepat sirna, dan suami atau isteri yang ditinggal almarhum dalam waktu relatif singkat sudah dapat kembali beraktifitas mencari nafkah.
Jika tujung masih melekat di kepala, kemungkinan yang bersangkutan larut dalam duka (margudompong) yang eksesnya bisa negatif yakni semakin jauh dari Tuhan atau pesimis bahkan apatis.
Ulos Sampe Tua, adalah ulos yang diberikan kepada suami atau isteri almarhum yang sudah Saur Matua, tetapi tidak ditujungkan diatas kepala, melainkan diuloskan ke bahu oleh pihak hula-hula ataupun tulang. Jenis ulos dimaksud juga bernama Sibolang. Ulos Sampe Tua bermakna Sampe (sampailah) tua (ketuaan-berumur panjang dan diberkati Tuhan).
Akhir-akhir ini pada acara adat Sari Matua, sering terlihat ulos yang seharusnya adalah tujung, berobah menjadi ulos sampe tua. Alasannya cukup sederhana, karena suami atau isteri yang ditinggal sudah kurang pantas menerima tujung, karena faktor usia dan agar keluarga yang ditinggalkan beroleh tua.
Konsekwensi penerima ulos Sampe Tua adalah suami ataupun isteri tidak boleh kawin lagi. Seandainya pesan yang tersirat pada ulos Sampe Tua ini dilanggar, kawin lagi dan punya anak kecil lalu meninggal, ulos apa pula namanya.
Tokoh adat Ev H Simanjuntak, BMT Pardede, Raja Partahi Sumurung Janter Aruan SH dan Constant Pardede berpendapat sebaiknya ulos yang diberikan adalah tujung, sebab kita tidak tahu apa yang terjadi kedepan. Toh tujung itu langsung dibuka sepulang dari kuburan, ujar mereka.
Saur Matua
Seseorang disebut Saur Matua, ketika meninggal dunia dalam posisi “Titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru”.
Tetapi sebagai umat beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu.
Khusus tentang parjuhutna, Ev H Simanjuntak bersama rekannya senada mengatakan, yang cocok kepada ina adalah lombu sitio-tio atau kalau harus horbo, namanya diperhalus dengan sebutan “lombu sitio-tio marhuling-hulinghon horbo”. Sebab kelak jika bapak yang meninggal, “boan”-nya adalah horbo (sigagat duhut).
Diminta tanggapannya apakah keharusan boan dari mereka yang Saur Matua lombu sitio-tio atau sigagat duhut, tokoh adat ini menjelaskan, hal itu relatif tergantung kemampuan hasuhuton, bisa saja simarmiak-miak.
Disinilah pemakaian umpasa “Pitu lombu jonggi, marhulang-hulanghon hotang, raja pinaraja-raja, matua hasuhuton do pandapotan”.
Kalangan hula-hula, terutama dongan sahuta harus memaklumi kondisi dari hasuhuton agar benar-benar “tinallik landorung bontar gotana, sada sitaonon do na mardongan sahuta nang pe pulik-pulik margana”. Jangan terjadi seperti cerita di Toba, akibat termakan adat akhirnya mereka lari malam (bungkas) kata mereka.
Masih seputar Saur Matua khususnya kepada kaum bapak, predikat isteri tercinta, kawin lagi dan punya keturunan. Kelak jika bapak tersebut meninggal dunia, lalu anak yang ditinggalkan berstatus lajang, sesuai dengan defenisi yang dikemukakan diawal tulisan ini, sang bapak menjadi Sari Matua.
Mauli Bulung
Mauli Bulung, adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namar-nini, sahat tu namar-nono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya, tak seorangpun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) (Seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut).
Dapat diprediksi, umur yang Mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas, ditinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.
Dalam tradisi adat Batak, mayat orang yang sudah Mauli Bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat).
Kematian seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis. Mereka boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.