Tradisi Mandok Hata, Alasan Logis Orang Batak Banyak Sebagai Praktisi Hukum
Banyak yang bilang, orang Batak dan dunia hukum ibarat andaliman yang selalu ada di kuah arsik. Tidak terpisahkan...hehe
Bahkan, di mana ada profesi bidang hukum, hampir pasti di situ ada halak hita-nya.
Sebut saja pengacara, jaksa, hakim dan sampai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan dalam KPK jilid IV (2015-2019), dua kursi pimpinan menjadi milik orang Batak. Dia adalah Basaria Pandjaitan dan Saut Situmorang.
Di dunia pengacara, nama-nama beken seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Hotman Paris Hutapea dan Hotma Sitompul cukup membuktikan halak hita memang menjadi raja di dunia kuasa hukum.
Lalu mengapa banyak orang Batak yang berprofesi di dunia hukum? Berikut alasan di antaranya:
Siapapun yang berprofesi di bidang hukum haruslah pandai bicara di depan orang banyak. Dan kemampuan ini dimiliki oleh kebanyakan orang Batak.
Kemampuan 'public speaking' orang Batak banyak didapat dari adat istidat. Setiap ada acara adat, setiap orang Batak (apalagi laki-laki dan sudah menikah), harus selalu siap jika diminta bicara (mandok hata) di depan orang banyak.
Uniknya, tradisi mandok hata ini sudah dilatih sejak kecil. Biasanya, setiap malam pergantian tahun, setiap anggota keluarga yang sudah bisa bicara, berapapun umurnya, diwajibkan untuk 'mandok hata' di tengah-tengah keluarga.
Meskipun cuma sepatah dua patah kata, tradisi mandok hata sejak kecil cukup melatih kemampuan 'public speaking' nantinya.
Dunia hukum yang hitam-putih dan salah-benar sangat cocok dengan orang Batak yang dikenal tegas. Sebab, ketegasan tidak mengenal wilayah abu-abu. Jika salah ya salah, benar ya benar.
Ketegasan ini juga disokong oleh kebiasaan orang Batak yang bicara apa adanya. Dalam hukum, fakta dan kesakian yang apa adanya (bukan ada apa-apanya ya...hehe) sangat membantu untuk pembuktian.
Suara keras yang biasa dimiliki orang Batak juga sangat mendukung profesi di bidang hukum. Pandai dan tegas dalam bicara tentu tidak ada artinya jika suara tidak bisa didengar orang lain.
Banyangkan, bagaimana bisa seorang jaksa membaca dakwaan setebal bantal jika volume suaranya lemah. Nah, bagi orang Batak, bersuara keras justru tidak masalah, karena memang sudah terbiasa.
Banyak yang bilang, suara keras yang dimiliki orang Batak dipengaruhi oleh jarak antar-rumah di huta (kampung) yang berjauhan, sehingga mereka harus bersuara keras untuk berkomunikasi atau memanggil kerabat atau tetangganya.