Mengenang Gugurnya Raja Tanah Batak Sisingamangaraja 110 Tahun
Seandainya Sisingamangaraja XII tidak memangku putri kesayangannya barangkali nasib orang sakti itu akan lain. Karena terkena darah Lopian, boru-nya yang ikut berperang, kesaktian Sisingamangaraja luntur seketika.
Kesempatan itulah yang dipakai oleh Si Gurbak Ulu, sebutan untuk pasukan Belanda yang dimpimpin Kapten Hans Christoffel, guna melumpuhkan Sisingamangaraja untuk selamanya pada 17 Juni 1907.
Dalam pertempuran di sebuah desa di pinggir bukit Lae Sibulbulon (sekarang masuk Kabupaten Dairi), sebuah peluru pasukan Belanda menerjang dada Sisingamangaraja. Menjelang napas terakhir, Sisingamangaraja tetap berucap, "Ahuu Sisingamangaraja..."
Selain Lopian, turut gugur dalam pertempuran itu dua putra Sisingamangaraja, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan oleh Belanda di Tarutung.
Gua pertahanan rakyat Toba kelihatan sepi. Air sungai bercampur merah darah. Mayat-mayat serdadu Belanda dan angota pasukan Batak terapung di tepi dan dalam sungai Sibulbulon, Dairi. Singkatnya, di depan dan dalam gua mayat-mayat berserakan.
Jenazah Sisingamangaraja XII kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907
di Silindung, setelah sebelumnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba.
Jenazah Ompu Pulo Batu, gelar Sisingamangaraja XXI, kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige pada 14 Juni 1953.
Semua tahu, karena kegigihannya melawan Belanda sampai titik darah penghabisan, Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.