Uniknya Menikah Dengan Upacara Agama Asli Etnik Karo, Mirip Hindu di Bali
Pernikahan adalah hari bahagia bagi setiap pasangan, dimana mereka akan mengikrarkan diri untuk hidup bersama. Momen bahagia ini banyak direspon pasangan yang menikah dengan menghadirkan kesan yang tidak terlupakan.
Sebelum melakukan acara adat, biasanya pasangan mengikat janji sesuai dengan kepercayaan yang diyakini pasangan. Begitu juga dengan yang dilakukan pasangan Arvina Dewi Boru Surbakti dan Komang Agus Haryawan Ginting Suka.
Keduanya mengikat janji sesuai kepercayaan yang dianutnya, yaitu Hindu Karo Pemena. Agama Hindu Karo Pemena, atau yang kerap dikenal dengan Aliran Kepercayaan Pemena, adalah agama pertama yang hadir di Tanah Karo.
"Acara pernikahan anak kami, Arvina Dewi Surbakti Spd dengan pilihan hatinya Komang Agus Aryawan Ginting Suka Spdh. Hari Sabtu 21 Juli 2018 secara Agama Hindu Karo, Pemena. Semoga berbahagia dan langgeng selamanya, astungkara," tulis ibu mempelai wanita, Risnawati Boru Meliala dalam akun facebooknya.
Sekilas pernikahan ini mirip dengan pernkahan secara Agama Hindu di Bali. Namun Risnawati mengutarakan bahwa, upacara ini pernikahan ini berbeda dengan upacara pernikahan yang ada di secara Agama Hindu di Bali.
Dalam statusnya tersebut, Risnawati turut mengungah foto-foto pernikahan anaknya. Dalam foto-foto tersebut tampak kedua mempelai menggunakan pakaian berwarna putih.
Mempelai perempuan mengenakan sarung bermotif ornamen karo berwarna hitam ke emas-emasan dan mempelai perempuan mengenakan sarung berwarna merah kehitam-hitaman.
Pemuka agamanya juga menggunakan pakaian putih dan bawahannya yang menyerupai sarung, yang juga berwana putih.
Pengantin dinikahkan atau mengikat janji suci pernikahan di aliran air sungai yang berada di Namutrasi, Desa Sebajadi, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang.
Dalam pernikahan ini, tampak beragam kain khas karo nampak dipergunakan. Mulai dari menutupi pengantin saat berada di dalam aliran sungai, begitu juga dengan ikat kepala yang dikenakan pemuka agamanya.
Jeruk purut dan daun sirih pun tampak menjadi bagian dari upacara pernikahan tersebut. Dimana dalam foto kedua mempelai memegang sirih, dan pemuka agamanya membelah jeruk purut dan memerah airya ke dalam sebuah cawan.
Komang Agus Aryawan Ginting Suka Spdh, mempelai pria saat dihubungi melalui WhatsUp membenarkan bahwa pernikahan tersebut adalah pernikahanya dengan istrinya Arvina Dewi Surbakti Spd.
Dia mengutarakan bahwa pernikahan dengan secara Hindu Karo Pemena sudah lama tidak lakukan, namun penganutnya masih banyak, terutama di Tanah Karo. "Iya memang ini acara udah lama tidak di buat. Selama bertahun-tahun," ujarnya.
"Sebenarnya banyak, terutama di daerah Tanah Karo. Kami sudah survei ke beberapa daerah untuk ketemu dengan saudara-saudara kami," tambahnya.
Beragam komentar pun datang dari para warganet, rata-rata menyampaikan selamat atas pernikahanya dan ketidak tahuanya bahwa ada Agama Hindu Pemena di Negara Indonesia dan masih lestari sampai sekarang.
Kemudian komentar bahwa pernikahan ini adalah suatu bukti bahwa Indonesia sudah beragam sejak dulu kala. Sehingga hal ini perlu dipertahankan.
Berikut komentar warganet di facebook
Brahma Wardani Sitepu menuliskan , "Alangkah indahnya keberagaman mewarnai makna kehidupan".
Agnes Ratna Beru Ginting menuliskan, "Dimana sering berlangsung acara Hindu Pemena ini bi..pengen jg melihat secara langsung..bujur Mejuah Juah".
Eddy Efendy Mondan Tarigan II menuliskan, "Agama kakek buyutnya orang karo.. sang pencipta aksara,ornamen, baju karo".
Ketut Gede Antara menulsikan, "Sangat menarik, semoga Tuhan Yang Maha Esa Asung Kertha Wara Nugraha bagi umat sedharma, dan semoga mempelai segera di berikan anak2 yg suputra,
Adat, budaya dan tradisi lokal sprti ini yg patut dilestarikan agar generasi penerus keturunan kita nanti tau akan sejarah bangsa kita yg beranekaragam budayanya, sepatutnya kita berbangga, pegang teguh tradisi adat dan budaya sprti ini, serta berikan pendidikan serta makna arti sebuah upakara dan upacara yg dilaksanakan, semoga Hindu Nusantara jaya".
Tergerus Sejak Jaman Kolonial Belanda
Sejarawan Universitas Sumatera Utara (USU), Junita Setiana Ginting mengutarakan bahwa kebaradaan penganut kepercayaan Pemena sejak jaman Kolonial Belanda sudah mulai tergerus keberadaanya.
Tergerusnya aliran kepercayaan ini ketika masuknya misionaris kristen maupun katolik ke karo para penganut kepercayaan ini dibenturkan pada stigma penyembah begu, sehingga awalnya mereka disebut sebagai penyembah hantu.
Padahal sebenarnya tidak, dahulu kan kata begu itu adalah roh leluluhur, namun maknanya jadi beda ketika kedatangan para missionaris tersebut. Namun begitu masih banyak penganut kepercayaan ini di Karo.
Nah saat zaman kemerdekaan, penganut yang diberi nama Pelebegu ini membuat nama merek dengan sebutan Pemena, yang artinya yang pertama. Agama yang pertama dianut oleh masyarakat karo.
Meski hanya ada lima dahulu yang diakui di jaman-jaman kemerdekaan, tapi mereka masih terus berkembang di Masyarakat karo. Mayoritas dulunya malah penganut Pemena ini.
Namun di tahun 1965, jaman dimana ada pemberontakan PKI, kemudian hingga berkuasanya Suharto membuta aliran kepercaayan ini berkurang. Kenapa berkurang, karena dahulu Komunis itu disebut tidak beragama (atheis) dan Pemena ini juga di cap tidak beragama