Ikan Busuk, Pariwisata dan Masa Depan Danau Toba
Beberapa hari terakhir ini masyarakat dikejutkan oleh kabar tentang ditemukannnya berkarung-karung ikan busuk di Danau Toba pada kedalaman sekitar 35-40 meter dari permukaan oleh Larry Holmes Hutapea, seorang penyelam sekaligus pemerhati Danau Toba.
Menurut ulasan yang berkembang di media massa, ikan-ikan busuk tersebut diduga milik perusahan raksasa PT Aquafarm Nusantara (PT AN) yang sudah lama beroperasi di kawasan danau.
Tuduhan ini bukan tanpa sebab, lokasi penemuan karung-karung berisi ikan busuk tersebut berada di Desa Sirungkungon, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir, tidak jauh dari lokasi PT Aquafarm Nusantara.
Terhadap tuduhan tersebut, pihak perusahaan melalui humasnya membantah dengan dalih bahwa mereka juga perduli dengan lingkungan di Danau Toba. Siapa yang benar dari silang sengkarut ini bisa diputuskan melalui investigasi yang seksama.
Tapi sambil menunggu proses investigasi lebih jauh, bau tidak sedap ikan busuk dalam karung kembali menegaskan beberapa hal yang selama ini sudah berkali-kali disuarakan masyarakat sekitar dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang ada di Kawasan Danau Toba seperti KSPPM, YPDT dan lainnya.
Pertama, ikan busuk dalam karung, milik Aquafarm maupun bukan, hanya kian memperjelas fakta pencemaran Danau Toba yang semakin tidak terkendalikan. Sudah tentu pencemaran memerlukan pembuktian secara ilmiah; tuntutan yang seringkali disurakan oleh pemain-pemain besar di Danau Toba yang juga sering menjadi pensuplai faktor penyebab pencemaran paling utama.
Tapi bahkan tanpa penelitian ilmiah pun, pencemaran Danau terbesar di Asia Tenggara ini sangat jelas terlihat. Sudah lama terdengar anjuran untuk berhati-hati jika ingin berenang di Danau Toba, sebab airnya sudah tidak sebersih dulu lagi. Ada banyak lintah, juga berbagai limbah lainnya, yang mudah terlihat dengan mata telanjang.
Belum lagi kejadian-kejadian aneh seperti air yang tiba-tiba menjadi coklat pekat atau hijau di tempat-tempat tertentu, atau ribuan bahkan jutaan ikan yang ditemukan mati mengambang. Penelitian yang dilakukan universitas, lembaga riset atau badan internasional seperti Bank Dunia, bukan menemukan pencemaran di Danau Toba. Tapi hanya mempertegas dan memberi bobot obyektif pencemaran yang selama bertahun-tahun sudah dirasakan dan ditanggung masyarakat setempat.
Kedua, ikan busuk adalah kejadian menggemparkan dari cerita lama pencemaran yang tidak pernah diperhatikan dan diatasi secara serius oleh Pemerintah, pusat maupun dan daerah, maupun para pemangku kepentingan seperti perusahan-perusahan swasta yang operasinya di kawasan ini berbasiskan eksploitasi sumberdaya alam. Respon yang diberikan umumnya lebih bersifat tambal sulam; cenderung reaktif ketika menghadapi isu panas seperti ikan busuk ini; atau sebatas “pencitraan” dan dalam rangka mobilisasi dukungan.
Tidak ada upaya sistemik untuk memperbaiki kerusakan lingkungan Danau Toba yang semakin parah, misalnya dengan mentransformasi model pembangunan dan pola pelibatan masyarakat dalam prosesnya. Sebaliknya, kerusakan lingkungan masih diperlakukan sebagai ekses yang perlu dikendalikan, terutama jika pengendaliannya berpengaruh terhadap kucuran bantuan asing untuk proyek pembangunan tertentu.
Ironinya, ketidakpedulian terhadap pencemaran Danau Toba, justeru terus berlangsung di tengah upaya Pemerintah yang sedang galak-galaknya ingin menyulap kawasan ini sebagai destinasi pariwisata bertaraf internasional. Bagaimana bisa keindahan kawasan ini akan dijajakan bagai para wisatawana mancanegara, sementara upaya serius untuk menjaga keindahan tersebut tidak lakukan? Upaya menjaga keindahan dalam hal ini tidak lain dari menjaga dan merawat lingkungan secara sistemik.
Apa indahnya Danau Toba jika dipenuhi ikan busuk atau ikan mati mengambang, ada lintah dimana-mana dan airnya kecoklatan? Sementara masih terus dipertanyakan, bahkan dengan mengikuti logika “menjual keindahan alam” yang diyakininya saja, tampak jelas kejadian ikan busuk dalam karung di kedalam sekitar 35-40 meter dari permukaan danau membuat niat membangun pariwisata di kawasan ini tampak tidak logis dan bertolak belakang dengan janjinya.
Ketiga, ketidakseriusan merespon persoalan pencemaran Danau Toba masih diperparah dengan ketidak mampuan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam bersikap tegas terhadap para pelaku pencemaran, terutama para pemain-pemain besar.
Sebaliknya para pemain besar selalu bisa lolos, setidaknya bisa berkilah secara public dan bahkan bisa berperilaku bak pencinta lingkungan yang gemar menanam pohon atau membersihkan air Danau Toba.
Ketidakmampuan seringkali tampak lebih sebagai keengganan sebab Pemerintah tampaknya selalu memerlukan sokongan perusahan swasata, terutama perusahan-perusahan kelas kakap. Kecenderungan ini melahirkan ironi lainnya yang tidak kalah memilukan.
Pencemaran tampaknya harga yang harus dibayar, terutama oleh masyarakat di Kawasan Danau Toba, akibat hubungan dekat Pemerintah dan Perusahan Swasta. Mirisnya lagi, tidak jarang pemerintah Kabupaten di Kawasan Danau Toba mengajukan permohonan bantuan atau dukungan dari perusahaan PT AN dan perusahaan yang diduga merusak lingkungan Danau Toba untuk kegiatan kegiatan pemerintah baik yang bersifat promosi, keagamaan dan aksi sosial.
Artinya, polemik jangan hanya dipusatkan pada pertanyaan siapa pemilik ikan busuk dalam karung. Sudah tentu memastikan pemiliknya sangat penting dan perlu diberi sanksi yang keras.
Tapi yang lebih penting lagi cerita ikan buruk mempertegas UNTUK kesekiankalinya persoalan lama di Danau Toba, yakni persoalan pencemaran yang tidak terkendalikan. Ikan busuk tampaknya sedang mengingatkan, bahkan upaya membangun Kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata berkelas dunia, tidak membuat kawasan ini beranjak jauh terutama dari kwalitas lingkungan alamnya.
Jika tidak ada upaya serius yang bersifat transformatif dan jika kerusakan lingkungan masih terus disederhanakan sebagai ekses, maka masa depan Danau Toba bisa jadi tak benar-benar jauh dari berkarung-karung ikan busuk yang perlahan-lahan muncul di permukaan.
Ditulis Oleh Delima Silalahi