Ini Cara Orangtua Batak Melihat Bibit, Bebet, Bobot Calon Menantu
Sebelum menikahkan anaknya, kebanyakan orangtua sampai sekarang masih mempertimbangkan calon menantunya lewat 3 penilaian: bibit, bebet dan bobot.
Artinya, orangtua akan lebih dulu mempertimbangkan garis keturunan dan latar belakang orangtua si calon menantu (bibit), status sosial/ekonomi orangtua calon menantu (bebet), dan pribadi si calon menantu sendiri (bobot) yang meliputi fisik, hati, iman dan moralitas serta kecakapan hidupnya.
Dengan penilaian tersebut, diharapkan calon yang akan dinikahi anaknya adalah pribadi yang bisa menjadi pasangan serasi sehingga perkawinan bisa aman, tentram, bahagia, langgeng selamanya.
Nah, ternyata orang Batak pun punya penilaian seperti itu sebagai tanggung jawab menikahkan anaknya jika sudah dewasa “bolon boru pamulion, magodang anak pangolihonon”.
Seperti apa penilaian orangtua Batak?
Sebelum menikahkan anaknya, orangtua juga akan mempertimbangkan calon anaknya dari ketiga hal di atas. Itulah yang disebut “mangaririt na naeng parumaen” atau “mangiririt na naeng hela.”
Sebab sekalipun pihak pria lebih memilih, tetapi jauh lebih memilih pihak wanita “ririt ninna paranak, riritan dope parboru.” Proses inilah sesungguhnya yang dinamakan “mangaririt.”
Dalam adat Batak, mangaririt berasal dari kata “ririt” yang artinya: pilih, cari, pikir. Maka mangaririt tidak hanya milik pria, tetapi juga wanita dan kedua orangtua mereka.
“Mangaririt” jauh di atas “martandang” yang sering kita sebut “berpacaran” atau PDKT. Sebab tahap mangaririt sudah tahap menentukan pilihan sebelum langkah selanjutnya menikah.
Itulah sebabnya mangaririt juga dilakukan oleh orangtua wanita kepada pria yang berniat untuk menikahi gadisnya. Proses pertimbangan ini bisa datang dari berbagai sumber dan berbagai cara sebelum menyetujui pria itu menjadi menantunya (hela-nya).
Perlu diketahui, sebuah perkawinan dalam adat Batak sangat sakral, maka alangkah lebih baik untuk hati-hati menentukan pilihan pasangannya. Sebab pasangannya itulah kelak teman bersama sehidup semati sampai kakek nenek,“rongkap na gabe, rongkap matua sahat tu na saur matua, marnini marnono”.
Kenapa pernikahan Batak sakral?
Sebab, wanita akan menjadi istri dan menyatu dengan klan marga tunggane boru, soripada dan paniaran marga. Sudah selayaknyalah wanita yang hendak dinikahi adalah pilihan yang terbaik yang dicintai setulus hati “tinodo ni roha na dumenggan di bagasan holong”.
Dan pria kelak akan menjadi “pamoruan” marga orangtua wanita yang kelak bisa diandalkan sikap, tenaga dan perbuatan “sipangasahonon pangalahona, gogona dohot pambahenanna.”
Sebab itu, maka kedua pihak akan mencari tahu lebih mendalam siapa calon menantunya, bagaimana kehidupannya, kepribadiannya, baik moral dan hatinya, bagaimana orangtua dan kerabatnya, apakah orang yang baik menjunjung budaya dan adat Batak “paradat jala na burju marroha?”
Kecantikan dalam menentukan menantu wanita menjadi urutan sekian sebab jika hati, moral, dan perilakunya baik, terlebih pekerjaannya baik (saat ini) maka itu sudah dianggap cantik, “na uli do nang na roa molo dung denggan pangalahona”.
Jadi naposo Batak, jangan heran jika ada pasangan yang hendak menikah, tapi lewat proses ‘mangaririt’, orangtua mereka justru tidak menyetujui adanya pernikahan.
Sebab orangtua tidak ingin pernikahan anaknya kelak membuat keluarga besar/marga menanggung malu karena orangtua tidak memberikan nasihat dan pendapat.
“Tinallik bulung si hupi, pinarsaong bulung sihala, unang sumolson di pudi alani sipasingot na so ada”.
Jadi, perlu kalian ingat ya, perceraian adalah aib bagi budaya dan adat Batak...