Aktivis Friends of the Earth Desak Pemerintah Indonesia Usut Kematian Golfrid Siregar
Kelompok aktivis lingkungan "Friends of the Earth" telah mendatangi kantor Konsulat Jenderal RI di Melbourne, Australia, Kamis siang (31/10/2019) untuk menyampaikan surat tekait meninggalnya Golfrid Siregar.
- 240 organisasi dunia meminta Indonesia terbuka dalam mengusut kematian Golfrid Siregar
- Kasus terakhir yang diperjuangkan Golfrid adalah pembangunan PLTA Batang Toru
- KJRI Melbourne telah menerima surat yang akan diteruskan ke KBRI Canberra
Kepada ABC Indonesia, Sam Cossar mengatakan mereka menyampaikan kecurigaan kematian Golfrid Siregar memiliki kaitan dengan profesinya sebagai pengacara lingkungan bersama WALHI di Sumatera Utara.
"Kami meminta agar pemerintah Indonesia membuka penyelidikan yang transparan atas meninggalnya Golfrid," kata Sam dari "Friends of the Earth".
Mereka juga mengatakan penyelidikan tidak hanya harus dilakukan secara independen, tapi juga lewat tim khusus yang dibuat langsung oleh Komnas HAM.
Ada pula tuntutan agar Presiden Joko Widodo membuat peraturan yang menjamin dan melindungi hak-hak aktivis lingkungan dan HAM, agar mencegah "kriminalisasi" bagi mereka yang mencoba membongkar ketidakadilan.
Foto Golfrid Siregar (kiri) dikenal sebagai aktivis dan pengacara lingkungan dan membongkar kasus yang melibatkan banyak perusahaan di Sumatera Utara. (WALHI Sumatera Utara)
Golfrid Siregar ditemukan tak sadarkan diri dengan tubuh terlentang dan sebuah motor di sebuah jalanan di kota Medan (Sumatera Utara) 3 Oktober 2019 , dini hari.
Pria berusia 34 tahun tersebut meninggal tiga hari setelah mendapat perawatan di rumah sakit karena luka di bagian kepala.
"Yang bersangkutan meninggal karena kecelakaan tunggal," ujar Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Andriyanto dalam sebuah konferensi pers pertengahan Oktober lalu.
Polisi juga mengaku telah adanya bukti jika Golfrid mengkonsumsi alkohol sebelum mengendarai motor.
Pernah melapor adanya dugaan korupsi
Namun WALHI mengatakan ada "kejanggalan" dari kematian Golfrid, seperti ditemukannya keretakan pada kepala, luka memar di mata kanan, pakaian yang banyak lumpur.
Golfrid juga sempat dilaporkan hilang dan mendapat ancaman sebelumnya.
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Jakarta, 10 Oktober lalu, WALHI mengatakan ada indikasi Golfrid telah mendapat penganiyaaan.
"Alhmarhum Golfrid ini salah satu aktivis, kuasa hukum dan kunci dari kasus yang ditangani WALHI, salah satunya adalah PLTA Batang Toru," ujar Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI saat itu.
Baru setelah WALHI memberikan pernyataan soal kecurigaan atas kematian Golfrid, Polda Sumut mengajak WALHI Sumatera Utara untuk melakukan otopsi dan reka ulang kejadian.
Dari catatan "Friends of the Earth" pembangunan PLTA Batang Toru adalah proyek kontroversial yang memberikan dampak pada lingkungan, sosial, keanekaragaman hayati dengan sejumlah "aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan PT North Sumatera Hydro Energy sebagai pengembang proyek".
Sebagai perwakilan WALHI, ia mengugat perusahaan tersebut karena dianggap telah menyalahi sejumlah peraturan, termasuk melapor ke KPK dengan dugaan adanya potensi korupsi antara PT NSHE dan pemerintah setempat.
Golfrid juga sebelumnya aktif menyediakan layanan advokasi bagi warga yang pernah mengalami kerugian atau menyuarakan masalah penebangan pohon ilegal, pertambangan, atau perusakkan hutan.
Surat permintaan dari 240 organisasi
Sam Cossar dari Friends of the Earth kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia mengatakan surat yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia telah ditandatangani oleh 240 organisasi pemerhati dan pembela lingkungan di lebih 70 negara.
Mereka pun telah mengirimkan surat kepada kantor-kantor Kedutaan Besar RI atau perwakilannya di kota-kota besar sejumlah negara, termasuk di Filipina, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.
"Di Melbourne kami telah diterima oleh perwakilan ke KJRI dan melakukan juga dialog dengan baik-baik," kata Sam.
KJRI Melbourne telah mengkonfirmasi kehadiran lima orang dari "Friends of the Earth" Australia dan menyerahkan langsung suratnya.
"Surat ditujukan kepada Kedutaan Indonesia di Canberra, sehingga kami akan meneruskannya," ujar Spica Alphanya Tutuhatunewa, Konjen RI di Melbourne kepada ABC Indonesia.