Bersihkan Limbah lestarikan Danau Toba Sebagai Tujuan Wisata Internasional
MEDAN, Pemerintah harus punya komitmen jika ingin menjadikan Danau Toba di Sumatera Utara sebagai daerah tujuan wisata. Berbagai limbah yang mengotori airnya harus segera dibersihkan. Di antaranya keramba jaring apung di Danau Toba.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Suryati Simanjuntak, Jumat (15/11/2013), mengatakan, pemerintah harus tegas. ”Kalau memang dijadikan tujuan wisata, keramba harus ditiadakan,” ujarnya.
Selain itu, dia mendesak pemerintah membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) guna menekan pencemaran air danau oleh limbah domestik. ”Hotel dan penginapan di sekeliling danau yang tak punya IPAL harus ditindak,” ujarnya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut Hidayati menjelaskan, pihaknya berencana membangun IPAL untuk dapat dipakai berkelompok oleh masyarakat. ”Ini untuk kurangi pencemaran domestik,” katanya.
Menurut Hidayati, pencemaran Danau Toba sudah melebihi ambang batas. Volume pencemar berupa benda padat mencapai 50.008 ton per tahun, fosfor 1.728 ton per tahun, dan nitrogen 5.585 ton per tahun. Salah satu dampaknya, kadar total fosfor pada 2012 mencapai 0,11 miligram (mg) per liter. Padahal, sesuai ketentuan, kadar fosfor tak boleh lebih dari 0,01 mg per liter.
Di Danau Toba, kini ada 8.922 keramba, sebanyak 484 keramba milik Aquafarm Nusantara dan 8.428-nya warga. Pakan ikan yang ditabur versi BLH Sumut sampai 95.760 ton per tahun sehingga dituding jadi salah satu sumber pencemaran. ”Memang sulit tiadakan keramba. Paling efektif membuat zonasi agar lebih tertata dan tak ganggu keindahan danau,” katanya.
Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho menambahkan, Danau Toba memegang fungsi ekologi dan ekonomi. Untuk itu, perlu penataan. ”Aquafarm Nusantara mengklaim tak mencemari karena membudidayakan ikan dengan teknologi ramah lingkungan. Namun, harus ada tanggung jawab moral untuk membagi ilmu ramah lingkungan ke sesama pembudidaya ikan,” tuturnya. Sejauh ini, sumber pencemaran lainnya, selain dari limbah domestik, budidaya ikan, juga peternakan dan lahan perkebunan.
Penduduk menonton atraksi paralayang di Bukit Siulakhosa, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Paralayang merupakan rangkaian kegiatan Festival Danau Toba 2013 yang digelar 8–14 September 2013. | KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI
Kerusakan hutan
Sementara itu, saat berkunjung ke redaksi Kompas, pemilik Aquafarm Nusantara Rudi Lamprecht, yang didampingi Anang Rizkani Noor dari Kiroyan Partners, menepis tudingan budidaya ikannya di wilayah seluas 9.13 hektar–dari total 112.000 hektar luas Danau Toba–menjadi penyebab pencemaran Danau Toba.
”Orientasi usaha kami profit lewat budidaya ikan nila yang diekspor ke mancanegara. Jadi, tidak mungkin kami tidak menjaga kebersihan air danau. Sebab, ikan tak akan hidup dan berkembang, apalagi diekspor, jika air danaunya tercemar. Pakan kami semuanya dimakan ikan yang dibudidayakan. Kalau ada yang keluar jaring dan dimakan ikan lain, kami justru rugi,” ujarnya.
Menurut Rudi, longsoran lahan akibat kerusakan hutan punya andil terhadap pencemaran.
Sumber Kompas Travel
Editor Walker