Doa di Tepian Danau Toba
Foto: Kompleks Tugu Makam Raja Silahisabungan di Desa Silalahi Nabolak, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
DERETAN piring berisi irisan jeruk purut berjejer rapi di tepi Danau Toba. Sesekali ombak yang datang memercikinya dengan pecahan buih. Petang itu, kabut tipis menyelimuti permukaan danau, menyimpan doa-doa yang pernah dibisikkan di sini.
Piring-piring berisi irisan jeruk purut itu merupakan sisa ritual yang ditinggalkan para peziarah yang singgah dan mandi di tepi Danau Toba. Lokasi perziarahan ini terletak di areal Tugu Makam Raja Silahisabungan di Desa Silalahi Nabolak, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Kami tiba menjelang petang, setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam bermobil dari Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo. Desa di tepi danau ini dibingkai perbukitan yang ketika itu tampak berwarna kebiruan, membuat suasana terasa begitu syahdu. Kesunyian sore sesekali ditingkahi suara nyanyian dua pemuda yang bermain gitar di sebuah warung kecil di tepi danau.
Areal tugu makam Raja Silahisabungan merupakan lokasi penting bagi desa ini. Para peziarah dari sejumlah daerah kerap datang untuk menjalankan ritual mandi di tepi danau. Lokasi untuk ritual mandi itu berada di tepian danau, dalam rentang sekitar 40 meter dari sisi kanan ke sisi kiri areal tugu.
Sebelum membasuh badan di tepi danau, peziarah biasanya lebih dulu merapal doa-doa dan harapan. Ritual mandi kemudian dilakukan dengan menggosok badan dengan irisan jeruk purut yang ukurannya cukup besar.
Masih di areal ritual mandi itu, berdiri megah sebuah tugu dan rumah Batak berhiaskan ukiran gorga yang anggun. Bebatuan sisa material vulkanik berukuran besar tampak berserakan di sana-sini, di antara perdu liar berbunga ungu. Pada bangunan tugu itu kita bisa menjumpai relief yang mengisahkan sepenggal riwayat sang raja.
Dari buku Memori Tumaras yang ditulis J Sihaloho, mengutip buku Tarombo Siraja Batak, Raja Silahisabungan adalah generasi kelima dari Siraja Batak. Raja Silahisabungan sendiri merupakan cikal-bakal marga Silalahi dalam masyarakat Batak serta marga-marga lain yang masih terkait. Sang raja memiliki dua istri, delapan anak laki-laki, dan seorang anak perempuan.
Raja Silahisabungan diperkirakan lahir pada tahun 1300 di Lumban Gorat, Balige, dan meninggal pada tahun 1450 di Desa Silalahi Nabolak. Tugu makam yang megah kemudian baru dibangun mulai tahun 1969, yakni saat peletakan batu pertama. Pada November 1981, tugu makam Raja Silahisabungan itu baru diresmikan.
”Raja konon punya kebiasaan mandi di danau dan berdoa, menyampaikan permohonan. Dan ini yang dilakukan oleh masyarakat di sini sampai sekarang. Masyarakat masih memelihara adat istiadat. Bermacam masalah juga sering kali diselesaikan dengan cara adat lebih dulu,” kata Sukadi Sidebang, warga Silalahi Nabolak yang merupakan keturunan dari anak raja yang keenam.
Mejan Pakpak
Selain tugu makam Raja Silahisabungan, kami mengunjungi situs mejan di Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, Kabupaten Pakpak Bharat. Dari ibu kota kabupaten, Salak, lokasi tempat ziarah itu dapat ditempuh selama 20 menit perjalanan bermobil melalui jalan yang berkelak-kelok.
Mejan merupakan batu yang dipahat dan diukir menjadi berbagai macam bentuk, mulai dari manusia hingga binatang. Dari buku yang dikeluarkan Dinas Kebudayaan Pariwisata Kabupaten Pakpak Bharat, tak ada informasi perkiraan usia mejan yang banyak ditemukan di kawasan tersebut. Sejauh ini ada 22 lokasi mejan di Pakpak Bharat, yang sebagian dalam keadaan rusak dan hilang dicuri pemburu artefak.
Mejan dimiliki oleh suku Pakpak, salah satu suku dalam rumpun masyarakat Batak. Mejan juga diyakini memiliki kekuatan magis supranatural. Beberapa versi cerita yang beredar juga menyebut mejan Pakpak diperkirakan berasal dari abad keempat hingga ketujuh Masehi.
Sebelum mengunjungi situs mejan, anggota staf bagian promosi Dekranasda Pakpak Bharat, Verikthen Alfredi Nahampun (38), mengajak kami menemui juru kunci mejan Berutu Ulu Merah, yakni Kafi Berutu (72) dan Suardana Berutu (42). Kafi menjelaskan, mejan dipercayai warga Pakpak sebagai penjaga kampung dari pemberi peringatan akan datangnya mara bahaya seperti bencana alam. ”Jika akan ada kejadian janggal, dari mejan itu keluar bunyi gemuruh, orang-orang kampung akan mendengarnya,” kata Kafi.
Ritual berziarah ke mejan merupakan bagian dari kepercayaan asli masyarakat Batak yang masih tersisa, sebelum masuknya agama modern. Dalam buku Seni Budaya Batak yang ditulis Jamaludin S Hasibuan (1985), pada dasarnya kebudayaan Batak adalah hasil pembauran kebudayaan pra-Hindu lama atau megalitik (batu besar) dan pengaruh India, yaitu agama Buddha dan Hindu pada abad kelima Masehi.
Setiap orang yang hendak berziarah mengunjungi mejan disarankan membawa sirih. Suardana lalu memberi kami tiga lembar sirih sebelum mendatangi mejan. Tak ada penanda jalan apa pun yang menunjukkan lokasi mejan. Kami mendaki bukit kecil di suatu tepi jalan berkelak-kelok, lalu melintasi belukar yang cukup lebat.
Setelah berjalan sekitar 50 meter, tampak bangunan kayu sederhana yang menampung kumpulan mejan. Ada patung batu yang berbentuk gajah yang ditumpangi orang dengan bagian kepala yang telah hilang, patung kuda yang ditumpangi orang, serta patung yang menyerupai kadal dan cicak. Bentuk menyerupai kadal atau cicak ini juga kerap kita jumpai pada rumah tradisional Batak. Cicak atau kadal merupakan perlambang kemakmuran, kesuburan tanah, dan dunia bawah yang dihuni makhluk gaib.
Verikthen kemudian meletakkan tiga lembar sirih di atas salah satu patung batu. ”Kita harus berhati bersih datang ke sini, tak bermaksud buruk,” kata Verikthen.
Artefak bersejarah seperti mejan memang sepatutnya hanya boleh ditemui mereka yang berhati bersih. Jika tak begitu, peninggalan berharga itu akan mudah lenyap dijarah pemburu dollar di balai lelang. (Sarie Febriane)
Sumber Kompas Travel