Lelaki 80 Tahun Ini Bertahan Hidup dengan Mengayuh Becak
MEDAN - Sepantasnya lelaki ini beristirahat dan menikmati hari tuanya di rumah bersama keluarga tercinta. Namun kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Setiap hari, Hasanuddin harus berjibaku dengan terik matahari ataupun menembus derasnya hujan dan angin, demi sesuap nasi.
Hati mana yang tak tersentuh ketika menyaksikan lelaki renta itu masih harus mengayuh becak. Kakek berusia 80 tahun itu pun menembus keriuhan lalu lintas Kota Medan dengan becak butut yang penuh tambalan.
Mangkal di Perempatan Yuki, Simpang Raya, Kota Medan, Sumatera Utara, si kakek ini setia menunggu penumpang. Jumlahnya tak banyak. Dalam sehari, dia hanya mendapat penumpang tak lebih dari jumlah jari tangan.
”Orang pasti lebih memilih naik becak motor agar tiba lebih cepat sampai di tujuan,” ujar Hasanuddin bergetar. ”Kalau mangkal di tempat lain juga tidak bisa. Jadi di sini aja mangkalnya,” tambah Hasanuddin yang mengaku mendapat uang Rp 35.000 sehari.
Namun toh, seolah tak patah arang, Hasanuddin dan beberapa teman rentanya, tetap duduk menunggu di bawah naungan terpal atap becak. Sesekali, dia mencoba mengundang warga yang melintas untuk menggunakan jasanya.
Lahir dan berasal dari Kota Padang, Sumatera Barat, Hasanuddin sudah puluhan tahun mengadu nasib ke Kota Medan. Sudah lebih dari 30 tahun dia bertahan di atas pedal butut becaknya itu.
Dulu, ia telah melakoni banyak pekerjaan berat dan kasar lainnya. Mulai dari tukang batu, tukang bangunan hingga dagang asongan. Pahit getir hidup pun ia alami silih berganti. Mulai dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dia lakoni. Hingga kedukaan ditinggalkan sang istri tanpa sebab pun pernah dirasakannya.
”Kalau dibilang pahit ya pahit. Tapi mau gimana lagi jalannya sudah seperti ini. Saya bersyukur saja masih diberi kekuatan untuk bisa mencari sesuap nasi,” ungkap dia yang ditemui Kompas.com, Kamis (5/3/2015) kemarin.
Mengaku tak mematok tarif khusus untuk setiap penumpangnya, Hasanuddin, mulai beraktivitas sejak pukul 8 pagi hingga batas waktu yang tak ia tentukan. Usia renta memang tak bisa dikompromikan.
Sekali sehat, bisa berkali-kali sakit. Namun demikian, ia tak pernah mengeluh. ”Dijalani aja. Kalau banyak mengeluh akhirnya makan pun tidak,” tutur kakek yang tak beranak cucu ini.