Cari

Honey Money Medan Fair

Posted 16-04-2015 09:22  » Team Tobatabo

TAHUN 1970, ada film berjudul Honey Money and Djakarta Fair. Disutradarai Misbach Yusa Biran dan dibintangi Ratno Timoer, Mansjoer Sjah, Benyamin S, dan aktris yang juga merupakan istri Misbach, Nani Widjaja.

Kisah dalam komedi berdurasi 84 menit ini sederhana saja. Tentang cinta, uang, dan siasat untuk meraih kemenangan dan kekuasaan, dibingkai keriuhan dan kemeriahan Djakarta Fair, ajang pesta rakyat tahunan yang digelar di Jakarta.

Saat film ini diproduksi, Djakarta Fair baru kembali digelar. Terinspirasi dari “Keramaian di Koningsplein”, semacam Pasar Malam yang digelar besar-besaran dan terorganisir di era kolonial, Gubernur Jakarta Ali Sadikin, pada tahun 1968, menggagas acara ini, mewujudkannya, dan kemudian mendapatkan sambutan luar biasa.

Di masa itu, Djakarta Fair, betul betul menjadi pesta rakyat. Ada puluhan stan berdiri. Ada panggung panggung seni budaya. Ada lenong, silat, gambang kromong. Ada ratusan pedagang pikulan membuka lapak dadakan, dari Gulali sampai Kerak Telor. Dan Misbach Yusa Biran, nyaris secara sempurna mendeskripsikan keriuhan dan kemeriahan tersebut ke dalam filmnya.

Heboh Djakarta Fair, mendorong daerah daerah lain melakukan hal serupa. Tak terkecuali Sumatera Utara. Bertempat di satu area luas terletak di samping Taman Ria di kawasan Jalan Gatot Subroto (di kedua lokasi ini sekarang telah berdiri pusat perbelanjaan yang antara lain mengandalkan ritel franchise dari Perancis), Pemerintah Provinsi Sumut dan Pemerintah Kota Medan menggelar Medan Fair.

Sebagaimana halnya di Jakarta, konsep Medan Fair adalah pesta rakyat. Tidak ada retribusi apapun, baik bagi yang datang maupun yang berpartisipasi sebagai bagian dari acara. Maka nyaris di setiap sudut Medan Fair tampak keluarga-keluarga yang duduk bercengkrama di atas tanah yang cuma dilapisi tikar. Sementara di sekitar mereka,  “berserakan” para penjaja barang dan makanan. Pesta berlangsung antara dua sampai tiga pekan.

Seiring waktu, para pemimpin daerah ternyata gagal untuk terus menahan diri dari godaan wewangi yang berembus dari ruang-ruang kapitalis. Maka Medan Fair pun tergusur. Tepatnya, digeser kurang lebih 10 km agak ke pinggiran.

Pada dasarnya pergeseran ini tidaklah buruk buruk amat. Lokasi baru masih terbilang strategis. Masih sangat mudah dijangkau. Di lain sisi, arealnya juga lebih luas, sehingga memungkinkan untuk melakukan terobosan terobosan yang sebelumnya terbentur pada kendala keterbatasan lahan. Dengan kata lain, semestinya, pemindahan ini dapat membuat Medan Fair menjadi lebih baik.

Kenyataannya tak demikian. Justru sebaliknya, makin ke sini, acara ini semakin kehilangan greget. Makin tak jelas apa gunanya. Tahun demi tahun berlalu, adakah peningkatan kualitas kepariwisataan di Sumatera Utara? Adakah peningkatan kesejahteraan para pelaku usaha kecil menengah yang digadang paling diuntungkan apabila menjadi bagian dari acara?

Berharap investor hadir barangkali tinggal mimpi, sebab jangankan turis mancanegara, pengunjung lokal pun sudah surut drastis. Mereka yang masih setia datang kebanyakan adalah para pegawai negeri atau pelajar. Dua kelompok pengunjung yang kedatangannya dimobilisasi dan diabsen.

Tidak adakah masyarakat umum? Tentu saja hiperbolik jika dibilang tak ada. Mereka ada, namun jumlahnya tidak membeludak, dan rata-rata datang hanya pada malam hari atau di penghujung pekan untuk merapat sampai ke tepi panggung yang menampilkan artis penyanyi solo atau band kenamaan dari ibukota.

Kenapa kemunduran yang drastis ini terjadi? Apakah lantaran perubahan nama? Boleh jadi begitu. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan, barangkali atas pertimbangan dan semangat mengakomodir ide dan kreativitas serta karya-karya dari daerah-daerah lain di provinsi ini, mengubah nama Medan Fair menjadi Pekan Raya Sumatera Utara, disingkat PRSU. Nama yang terkesan formil: kaku, tidak hangat dan akrab.

Medan Fair hakekatnya adalah pesta rakyat. Sedangkan PRSU lebih menitikberatkan pada pameran keberhasilan pembangunan tiap-tiap daerah. Medan Fair mengetengahkan kehebohan dan kemeriahan yang jujur. PRSU berupaya mengesankan kegemilangan yang pada akhirnya malah memampangkan kegagapan.

Sungguh sangat disayangkan sekali. Padahal ajang ini jelas-jelas merupakan kesempatan emas untuk menjual berbagai keistimewaan yang dimiliki Sumatera Utara. Ragam budaya, ragam seni, terutama.

Saya masih ingat betul bagaimana dua puluhan tahun lalu, di Medan Fair, banyak turis mancanegara berdatangan. Mereka betul betul tertarik pada berbagai pertunjukan seni budaya yang dipanggungkan. Mereka mengabadikan Ronggeng, Pakpung, Serampang Dua Belas.

Mereka memotret para seniman berbalas pantun dan melantunkan dendang melayu, juga tari tarian dari tanah Batak, Mandailing, Karo, dan lain sebagainya. Dan mereka jatuh kian jauh ke dalam pesona karena pada gelaran ini juga terdapat pertunjukan seni lintas budaya semacam Kuda Lumping, Ludruk, dan Ketoprak.

Turis-turis ini bercampurbaur dengan para pengunjung lokal. Mereka datang berbondong untuk menyaksikan hal hal yang menarik dan konkret, yang ditampilkan bukan sekadar sebagai hiburan tempelan.

Tahun ini, PRSU kembali digelar. Dan apa yang bisa dilihat di sana nyaris persis dengan yang diketengahkan pada tahun-tahun penyelenggaraan sebelumnya, yakni karnaval informasi serba terbatas dan data-data pencapaian keberhasilan pembangunan. Hal yang bagi sebagian besar rakyat Sumut barangkali terasa semu.

Bahkan jika ada yang teliti mengingat, beberapa stan juga menempati lokasi yang sama, dengan dekorasi dan isi yang hampir 100 persen serupa dan seragam. Di tiap stan, tiap paviliun, pasti ada brosur wisata daerah dan hasil kerajinan tangan, dalam bentuk tenun, tas, sepatu, atau keranjang. Tentu saja ada keripik dan dodol.

Ada sejumlah stan yang sebenarnya coba tampil beda. Misalnya dengan mengetengahkan pertunjukan-pertunjukan kesenian. Tari-tarian, drama, dan semacamnya. Mereka mencoba memberikan informasi lewat cara yang tidak formil.

Patut diapresiasi, akan tetapi secara umum, garapan pertunjukan ini masih jauh dari kata maksimal. Untuk tidak menyebutnya “terlalu biasa” bagi kelas pameran terbesar di tingkat regional. Sekadar tempelan, bukan andalan utama. Ditampilkan saat pembukaan, di hadapan bupati atau wali kota daerah terkait.

Kesan bahwa ajang ini tidak dirancang oleh tangan tangan kreatif dan profesional, memang terasa benar. Stan demi stan, paviliun demi paviliun, dibangun dan ditata dengan selera masa lalu. Dan berada di sana, membuat saya merasa seperti terjebak di pusaran mesin waktu dan kemudian terlempar ke tahun 1980an. Bedanya, sekarang tidak ada lagi potret bapak pembangunan dan ibu negara kita yang legendaris.

Apakah daerah ini kekurangan orang-orang kreatif? Saya kira tidak. Tengoklah, di luar acara pemerintah, begitu banyak acara menarik digelar. Tidak cuma di Medan. Di berbagai daerah, bahkan di kota-kota kecil, berbagai acara yang memiliki nafas modern dan mengikuti perkembangan zaman, namun tetap kental unsur edukatifnya, digelar dan mampu menarik banyak pengunjung.

Kenapa pemerintah daerah tidak sesekali mencoba menggandeng mereka? Saya percaya, di tangan orang-orang yang lebih kreatif, PRSU yang pada dasarnya sudah memiliki modal bagus ini, akan jadi semakin bagus. Tapi kenapa tetap bertahan dengan cara pandang dan pola pikir birokrasi yang serba kuno?

Begitulah, secara umum, ajang ini boleh dikata berjalan serba datar dan hambar, dan untuk itu semua, tiap-tiap pengunjung dibebankan retribusi. Karcis masuk sebesar Rp 20 ribu per kepala dan retribusi parkir yang besarannya seringkali tak terduga duga pula. Tergantung pada “cuaca” dan “suasana hati” pengutipnya. Alhasil, nyaris kerap terjadi pertengkaran, dan bahkan perkelahian. Sangat tak nyaman.

Apakah betul betul tak ada yang baru dan menarik dari PRSU 2015? Apakah tidak ada terobosan? Bagi saya, maaf, memang tidak ada. Entah bagi Anda. Seorang kawan saya bilang, ada stan yang memajang batu batu akik. Ada Kecubung, ada Biduri, ada Suliki, Sungai Dareh, ada Bacan juga. Seluruhnya bersertifikat.

“Bagus bagus. Tapi tinggi harganya. Hampir dua kali lipat dari pasaran. Mungkin karena kena pajak. Mending beli di luar,” katanya, lalu tertawa berderai.

Saya tanya padanya, apakah dia datang ke PRSU untuk melihat pameran batu akik. Dia menggeleng. Tidak sengaja lihat, katanya. Lalu?

“Aku mau nonton Lina Geboy,” ucapnya, lagi lagi diikuti tawa, sebelum kemudian melantunkan sepotong dangdut dari penyanyi pendatang baru itu.

Jarang pulang, abang jarang pulang...

Alahai!

 

Sumber