Sandra Niessen: Mereka Pikir Nilai Ulos Rendah, Padahal Kalau Dijual Laku Ribuan Dollar
Perkembangan zaman dan teknologi yang begitu pesat berdampak pada pergeseran arti dan fungsi Ulos. Kondisi ini justru dinilai menjadi tantangan tersendiri bagi Sandra Niessen, antrolpolog Belanda yang menghabiskan waktunya hingga puluhan tahun meneliti Ulos Batak.
Perempuan berkebangsaan Kanada dan memilih tinggal di Belanda ini dapat dengan fasih menjelaskan sejarah, teknik pembuatan, pewarnaan dan filosofi dari setiap tahap pembuatan Ulos. Kecintaannya pada Ulos telah membawanya mendalami Ulos secara ilmiah. Ulos menjadi subyek penelitiannya untuk meraih gelar doktor antropologi dari Universitas Leiden Belanda.
Setelah sekitar 30 tahun melakukan penelitian tentang Ulos, hasil disertasinya dibukukan dan diberi judul Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia pada tahun 2009. “Saya menilai Ulos itu sangat indah dan luar biasa. Tetapi kondisinya saat ini sudah mulai hilang, bahkan penenun Ulos asli sudah semakin langka,” jelasnya beberapa waktu lalu, saat mengikuti salah satu even pesta budaya di Samosir sembari menunjukkan koleksi Ulosnya.
Sandra semakin tergugah melestarikan Ulos sebagai warisan budaya Batak yang hampir punah. Seiring mempelajari Ulos hingga puluhan tahun, Sandra juga dituntut mengerti Bahasa Batak. Sesekali Sandra berbahasa Batak menjelaskan arti dan sejarah Ulos.
Perempuan berambut pendek ini menjelaskan, dirinya tertarik meneliti soal Ulos karena ia tidak suka Ulos yang modern. Kalau dilihat gambar-gambar ini (dalam buku Legacy in Cloth), ada Ulos yang hebat yang dilakukan dulu oleh penenun-penenun.
Menurutnya, keunikan Ulos dibandingkan tenun lain karena teknik pembuatan tidak ada di tempat lain dan ada kerumitan. Sedikit kerumitan itu tergambar pada Ulos Ragi Idup. Tenun ikat seperti itu tidak dibuat lagi. Sandra mendapatkan Ulos-Ulos yang ada dalam foto-foto itu dari hasil mengumpulkan dari museum-museum di seluruh dunia. “Ini karya saya selama 30 tahun. Saya cari di Belanda, Jerman, Prancis, Italia, Kanada, Amerika dan Jepang,” ujarnya.
“Pengoleksi Ulos seperti ini mungkin tinggal lima atau enam yang masih ada. Jadi Ulos ini sudah dilupakan di daerah Batak. Mereka pikir nilai Ulos mereka rendah. Padahal, sejarahnya super hebat dan kalau dijual dapat laku hingga ribuan dollar,” jelasnya saat didampingi rekan kerja MJA Nashir dan dipandu Thomson HS.
Dikutip dari Metrosiantar