30 Tahun Perang Batak: Pengkhianatan ke Sisingamangaraja XII
Menarik untuk dicatat, ketika di Dairi Sisingamangaraja XII didampingi oleh Nyak Muhamad Ben, panglima perang dari Aceh yang menjadi sahabatnya ketika dia masih belajar di Aceh Keumala.
Keberadaannya di Aceh dulu, sejalan dengan rencana ayahanda Sisingamangaraja XI, karena Aceh sedang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Kehadiran para panglima dari Aceh itu dianggap Belanda sebagai usaha untuk membangun front Batak-Aceh, satu fenomena ancaman yang sangat serius.
Perlu diingat, dengan berdiri sendiri, tanpa bantuan pihak lain, Bakkara tak bisa mempertahankan diri dari invasi Padri.
Pendekar Aceh terkenal teguh pada pendirian, taat beragama dan melawan terhadap sibontar mata (si mata putih, Belanda). Merekalah yang berperan besar membentuk pasukan sukarela pendukung Sisingamangaraja XII yang dilatih di garis belakang.
Tak terbilang berapa jumlah pasukan Aceh yang gugur di berbagai front untuk mempertahankan Sisingamangaraja. Hulubalang-hulubalang Aceh ini jugalah yang melatih dan membentuk pasukan Baginda Raja. Petarung-petarung Aceh ini juga yang memaknai apa artinya kesetian.
Mereka begitu teguh pada sumpah bersama Sisingamangaraja XII. Mereka berkaul sampai tumpas pun mereka tidak akan tunduk pada sibontar mata.
Mereka akan tetap bersama Baginda sampai titik darah penghabisan. Adalah Teuku Muhamad Ben, yang terus mendampingi Baginda sejak perang 1878. Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris, Teuku Sagala, Teuku Nyak Umar dan masih banyak lagi pejuang laskar Aceh yang hilang tanpa nama dalam mendukung perlawanan Sisingamangaraja XII.
Seandainya sejak awal perang, Raja Batak ini tidak dikhianati oleh orang-orang Batak sendiri, tentu derita yang ditanggungkan oleh Baginda beserta keluarganya itu, tidak perlu terjadi. Mereka tidak harus menyingkir ke Dairi.
Ada sejumlah nama yang tercatat sebagai pengkhianat Raja dari Bakkara itu, seperti Partaon Angin, Raja Hutsa (gelar Pardopur), Ompu Onggung, Jonggi Manaor, Simonsi, Kinso, Situnggap. Tiga yang terakhir dibunuh oleh pengawal Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII.
Sebenarnya, dinasti Sisingamangaraja tidak hanya menghadapi musuh dari luar batang tubuh kerajaan, tetapi juga dari dalam. Adalah putra Sisingamangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela yang kawin sedarah (incest) dengan putri dari abangnya, Sisingamangaraja IX, bernama Gana Sinambela, sebagaimana dikisahkan MO Parlindungan dalam bukunya yang pernah menyulut polemik, ”Tuanku Rao.”
Karena malu yang disebabkan oleh aib itu, maka Sisingamangaraja IX mengusir mereka. Keduanya misir (melarikan diri) ke Singkil, Aceh. Anak yang tidak diharapkan pun lahir di sana, dan diberi nama Pongkinangolngolan. Nama ini dipilih karena lamanya pasangan tersebut dalam pengasingan.
Ketika Sisingamangaraja IX meninggal, dia digantikan oleh putranya yang adalah adik Gana Sinambela. Sisingamangaraja X memanggil Gana Sinambela dan Pongkinangolngolan untuk kembali ke Bakkara setelah mereka berada di pengasingan selama 10 tahun.
Namun, kedatangan mereka ditolak oleh tiga datu besar. Datu Amantagor Manullang meramalkan, jika Si Pongki tidak dibunuh maka sebaliknya dialah yang akan menghancurkan dinasti Sisingamangaraja.
Sisingamangaraja tak kuasa menolak nasihat datu tersebut. Namun, dia tak tega membunuh bere-nya (keponakannya) sendiri. Lalu, dia bersandiwara dengan berpura-pura mengikat Si Pongki yang baru berusia 11 tahun itu untuk ditenggelamkan ke Danau Toba. Dia mengikatkan kayu apung di tubuh Si Pongki sembari menyelipkan koin emas ke sakunya sebagai bekal nanti.
Sebelum dilepaskan ke Danau, Sisingamangaraja X melonggarkan ikatan yang melilit Si Pongki. Singkat cerita, Si Pongki tidak tenggelam, tetapi terapung dan hanyut sampai ke Sungai Asahan. Dia ditemukan seseorang yang kemudian mangangkatnya sebagai anak.
Memenggal, menancapkan ke tanah
Pada usia 20 tahun, Pongki mengembara ke Mandailing. Dari sini dia menyingkir ke Minangkabau karena merasa ada yang memata-matainya. Di Tanah Minang dia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Sementara Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan gerakan Mazhab Hambali, meminta kepada Datuk untuk menyerahkan Si Pongki supaya disekolahkan.
Apalagi sudah diketahui bahwa Si Pongki adalah keturunan Sisingamangaraja. Si Pongki kemudian dikisahkan masuk Islam, berganti nama menjadi Umar Katab. Dia dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu agama. Di sana dia juga mengikuti pendidikan kemiliteran.
Tahun 1815, Umar Katab pulang dari Mekkah dan ditabalkan menjadi Panglima Padri, diberi gelar Tuanku Rao. Dari selatan, pasukan Padri mara ke utara. Serangan Padri terhadap markas Sisingamangaraja dimanfaatkan oleh Jantenggar Siregar sebagai ajang balas dendam terhadap dinasti Sisingamangaraja.
Konon, Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari dinasti Sisingamangaraja, pernah menyerbu pemukiman Marga Siregar di Muara. Dalam perang tanding itu klan Siregar kalah. Raja Porhas Siregar sebagai pemimpin tewas. Sejak saat itu dendam kusumat terus membara pada keturunan Raja Porhas Siregar.
Jatenggar Siregar menyerang Sisingamangaraja X, memenggal kepalanya, menusuk dan menancapkannya ke tanah. Sementara Tuanko Rao hanya berpangku tangan menyaksikan pembantaian terhadap tulangnya itu. Ramalan Datu Bolon Amantogar Manullang menemukan kebenarannya, bahwa Si Pongkinangolngolan akan menghancurkan dinasti Sisingamangaraja.
Tiga puluh tahun memimpin perlawanan terhadap Belanda, Sisingamangaraja XII sendiri wafat melalui jalan kemuliaan. Walau kematiannya didahului oleh ”pengkhiatan terpaksa” yang dilakukan oleh seorang Partaki, kepala huta yang terletak di sebelah selatan Alahan.
Desa tersebut diobrak-abrik pasukan Belanda, yang antara lain terdiri dari marsose berasal dari kaum pribumi dari kepulauan Nusantara yang lain. Partaki yang malang itu diusut, disaksa. Tak tahan, orang ini lantas buka mulut dan menunjukkan arah persembunyian Sisingamangaraja XII.
Baginda Raja dan para pengikutnya terjepit di satu tempat, dengan jalan lari satu-satunya hanyalah jurang yang sangat curam dan dalam. Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra Baginda memberikan perlawanan dengan melepaskan tembakan. Dalam tembak-menembak itu mereka tewas.
Pasukan Belanda menyerukan Sisingamangaraja agar menyerah. Seruan itu malah berbalas dentuman tembakan. Jelaslah bagi pasukan yang mengejar bahwa Sisingamangaraja XII tak mau menyerah. Dalam pertempuran jarak dekat di ambang malam tanggal 17 Juni 1907 itu, Lopian, putri kesangayangan Baginda tertembak.
Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII, yang turut dalam pertempuran tersebut, dan kemudian ditawan Belanda, belakangan menceritakan bahwa dia melihat Baginda mendekap dan memeluk Lopian yang bersimbah darah dengan erat-erat.
Sabidan bersaksi bahwa dalam keadaan lemah, karena sudah beberapa hari tidak makan, Baginda Raja masih sempat berdoa : ”Ya Ompu Debata Mulajadi Na Bolon, lindunglah bangsaku ini dari tangan musuh yang durhaka,” sebagaimana dikutip dalam ”Toba Na Sae” tulisan penyair Sitor Situmorang.
Dalam keadaan Sisingangamaraja bersimbah darah itu muncullah marsose Hamisi, yang berdarah Maluku, melepaskan tembakan tepat menembus jantung Sisingamangaraja XII. Dan Baginda rubuh. Usianya 62.
Di negeri yang bangkit melawan penjajahan ini, agaknya tak ada raja yang patriotik dalam menentang Belanda, yang telah menumpahkan darah dan pengorbanan sebesar Sisingamangaraja XII, di mana seluruh keluarganya ikut boyong dalam perlawanan, dan malahan gugur bersimbah darah.
Asal Usul Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.
Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.
Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Bersambung, Baca 30 Tahun Perang Batak: Biografi Sisingamangaraja XII