30 Tahun Perang Batak: Mata-mata Belanda
Foto Pasukan Marsose Pada Pertempuran Bahal Batu Dibawah Pimpin Kapten Hans Christoffel
Pada Februari 1878, sebenarnya perang sudah pecah sebelum Belanda tiba di Balige. Hadangan pasukan raja-raja ihutan (panutan) dari Toba beserta pasukan gabungan berbagai bius, berhasil menahan gerak maju pasukan militer Belanda di Bahal Batu. Serangan ini sudah berada di bawah kendali Sisingamangaraja XII dari Bakkara.
Sejak saat itu, pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Pertempuran demi pertempuran terus bekecamuk. Raja Partahan Bosi Hutapea, raja ihutan dari Toba, tewas tahun 1879 di Si Raja Deang, Laguboti.
Sementara itu, dalam sebuah perlawanan yang sengit, Guru Sumillam Tampubolon, salah seorang panglima perang Sisingamangajara, tahun 1881 gugur di desa Lumban Julu. Anaknya, Sarbut Tampubolon, berhasil meloloskan diri.
Tampubolon kemudian sering mengadakan kontak dengan Sisingamangaraja XII.
Serangan pertama Belanda terhadap pusat dinasti Sisingamangaraja XII di Bakkara berlangsung 30 April 1878. Bangunan-bangunan berciri khas arsitektur Batak dan bernilai artistik tinggi dihancurkan. Bangunan itu umumnya dihiasi seni ukir klasik (gorga) bermotif Perbaringin, agama Sisingamangaraja.
Vandalisme kuno Belanda ini antara lain terjadi di Lumban Raja dan Onan Bale, yang terletak dalam kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Rumah-rumah kerajaan juga dibombardir dan dibakar, termasuk Ruma Bolon, Ruma Parsantian, Sopo Bolon, Tari Sopo, dan Sopo Godang.
Juga balai kerajaan, seperti Bale Pasogit, Bale Partangiangan, Patene, dan Bale Bius. Semuanya tinggal puing-puing belaka, tak satu-pun bangunan yang utuh, semua rata dengan tanah.
Serangan yang meluluhlantakkan ini adalah kejadian yang kedua kalinya menimpa dinasti Sisingangamaraja setelah gempuran yang dilancarkan kaum Pidori (Perang Padri) tahun 1817.
Sisingamangaraja XII terpaksa mengungsi berserta seluruh keluarganya ke kediaman Barita Mopol di Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho. Setahun kemudian, dia baru bisa kembali ke pusat kerajaannya di Bakkara.
Membangun kembali di atas puing-puing kerajaan. Dia giat mengadakan pendekatan dengan berbagai bius supaya ikut dalam penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige.
Serangan dilancarkan pada bulan Juni 1883, dipimpin langsung oleh Baginda Raja. Pasukan rakyat Bona Pasogit berbondong-bondong berkumpul di Uluan untuk membantu serangan.
Sayang, rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata Belanda. Ribuan barisan rakyat gugur saat itu. Bahkan, menurut Belanda, Sisingamangaraja XII juga terluka.
Baginda Raja mundur ke Bakkara. Haus darah, kurang dari dua bulan kemudian, Belanda kembali menyerbu Bakkara dan kembali membumi-hanguskan pusat kerajaan. Baginda dan keluarganya kembali mengungsi ke Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho.
Sampai akhir 1887 pasukan Sisingamangaraja XII masih bertahan di Hutan Paung dan Pollung. Baginda Raja memutuskan untuk menempuh taktik gerilya.
Dalam situasi yang serba darurat, akhirnya Sisingamangaraja XII memutuskan untuk migrasi ke Dairi. Menurut catatan, hampir seribu orang yang turut dalam migrasi yang dipimpin Baginda, yang dibagi dalam beberapa kelompok.
Di samping para pejuang dalam rombongan itu, terdapat juga ahli-ahli pertanian, arsitek dan ahli Gorga. Dalam hitungan minggu mereka sampai di negeri Simsim, Dairi, tepatnya di negeri Si Onom Hudon.
Saat keluarga besar Dinasti Bakkara beserta pasukan tiba di pedalaman Dairi, dia tidak langsung diterima oleh masyarakat setempat. Kehidupan mereka begitu sulit. Sementara meminta bantuan ke Silindung dan Toba Balige, yang dikuasai Belanda, sudah tak mungkin.
Pada waktu itu, misi zending telah membawa perubahan penting ke dalam kehidupan di Toba. Beberapa pejuang yang tadinya menyokong Sisingamangaraja, kemudian meletakkan senjata dan menerima iman dan hidup baru.
Banyak pula mata-mata yang tergiur pada hadiah yang dijanjikan Welsink kalau bisa memberikan info mengenai keberadaan Sisingamangaraja.
Inilah masa paling sulit bagi anggota keluarga dan pasukan Sisingamangaraja. Persediaan makanan juga menipis. Namun, karena semangat mereka yang tinggi, dalam lima tahun mereka sudah berhasil membangun huta yang baru di Pea Raja, lengkap dengan Bale Pasogit, sebagai pusat kerajaan yang baru.
Bercocok tanam, beternak dan mendulang emas adalah kegiatan sehari-hari mereka. Di samping latihan perang tentunya. Bahkan mereka berhasil membeli senjata-senjata baru.
Di Si Onom Hudon inilah putri Sisingamangaraja XII, Lopian, lahir pada tahun 1889. Putrinya ini mewarisi karisma dan sikap kesatria dari ayahandanya.
Dia memegang peran penting dalam menghimpun dukungan berbagai pihak di tingkat akar rumput.
Lopian yang selalu memberi semangat, saat Baginda Raja dan pasukannya dalam keadaan tertekan depresi. Dialah putri yang selalu membesarkan hati Baginda apabila kehilangan anggota keluarga karena tewas dalam pengungsian.
Bersambung, Baca 30 Tahun Perang Batak: Pengkhianatan ke Sisingamangaraja XII