Harmoni Dalam Kekerabatan Orang Batak Karo
Sistem kekerabatan patrilineal (garis keturunan yang ditentukan dari jalur laki-laki) dan tata-aturan perkawinan pada orang Batak Karo di Sumatra Utara lahir dalam alam pengetahuan masyarakat yang sederhana.
Meski sistem sosial dan tata-aturan ini tidak empiris, tidak nampak dan cukup rumit dipahami, namun adat-istiadat itu nyata sekaligus penting dalam praktik keseharian mereka hingga kini.
Batak Karo ialah satu dari enam sukubangsa Batak, seperti Toba, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Orang asli Karo tinggal di dua kawasan berbeda di utara Danau Toba, yaitu Dataran Tinggi Karo dan Dataran Rendah Karo, yang mereka sebut Taneh Karo.
Ahimsa-Putra dalam artikelnya “Jodoh Orang Batak Karo: ditentukan atau tidak” (Masyarakat Indonesia, 1986) menjelaskan bahwa dari riset dua antropolog Masri Singarimbun (Indonesia) dan Rodney Needham (Amerika Serikat).
Diketahui bahwa kelompok keturunan (descent group) dalam masyarakat Batak Karo terbagi ke dalam lima klen (merga), yaitu:
Marga Perangin-angin, Sembiring, Tarigan, Ginting, dan Karo-karo. Merga ini masih dipilah lagi ke dalam sub-subklen, seperti klen Ginting mempunyai subklen Ajartambun, Munthe, dan seterusnya.
Selain klen, orang Karo mengenal jabu (“keluarga”) untuk unit yang lebih kecil. Jabu tak hanya mewakili keluarga batih (inti), namun juga menunjuk pada kelompok kekerabatan yang lebih besar, yaitu sada bapa (satu kakek) dan sada nini (satu buyut).
Dua kelompok ini masih dianggap sekeluarga dan saudara sekandung karena keturunan satu kakek. Dari situ, dikenal pula istilah jabu sada bapa dan jabu sada nini yang merupakan kelompok kekerabatan terluas setelah klen.
Hal ini mirip dengan fenomena trah pada masyarakat Jawa.Oleh para antropolog, pembagian kelompok keturunan yang demikian membuat orang Batak Karo dianggap menganut sistem aliansi prescriptive dalam perkawinannya.
Lantaran menampakkan struktur hubungan perkawinan yang asimetris (asymmetrical connubium stucture) atau dalam praktik perkawinannya tidak terjadi pertukaran gadis yang boleh dinikahi antarklen.
Lantas, bagaimana sistem itu bekerja dan mengapa penting bagi tatanan adat-istiadat orang Batak Karo?
Perkawinan Ideal
Bagi orang Batak Karo, sistem kekerabatan dan perkawinan begitu menentukan keberlangsungan tatanan adat-istiadat serta struktur sosialnya secara harmonis.
Karenanya, mereka berupaya menjaga perkawinan ideal dalam tradisi Karo, yakni si pemuda atau gadis wajib menikahi impal-nya (pasangan idealnya). Aturan main dalam perkawinan ideal orang Batak Karo adalah pernikahan sepupu-silang.
Salah satu syarat pernikahan sepupu-silang ini ialah pasangan ideal atau impal si pria adalah harus anak perempuan dari saudara laki-laki ibu. Sementara impal bagi si gadis adalah anak laki-laki dari saudara perempuan ayah.
Larangan berlaku bila si pria ingin menikahi anak perempuan dari saudara perempuan ayah, hal ini lantaran anak dari saudara perempuan ayah dianggap sebagai turang impal atau tabu dikawini.
Alasannya sederhana, agar terhindar dari hubungan timbal-balik atau saling tukar pada arah pertukaran gadis di tiap klen.
Hal ini nantinya berkaitan dengan benda yang dipertukarkan saat ritual perkawinan, serta hak dan kewajiban yang ditanggung oleh kelompok kerabat dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Jika hal ini dilanggar, maka artinya relasi klen kalimbubu–anakberu (kerabat pemberi gadis-kerabat penerima gadis) akan berubah tiap generasi dan melahirkan struktur sosial yang lain sama sekali dalam masyarakat Karo.
Hubungan kalimbubu–anakberu dimengerti sebagai relasi antardua klen karena perkawinan yang terjadi antara pria-gadis lintas klen (Ahimsa-Putra, 1986).
Menariknya, bagi orang Batak Karo perkawinan semacam ini dianggap sesuai dengan keteraturan alam (natural order of things). Ini tecermin dalam ritual perkawinan sepupu-silang yang matrilateral.
Perkawinan semacam ini juga dipercaya memiliki daya pelindung serta penyembuh bagi seseorang yang sakit.
Di samping itu, mereka juga melarang pernikahan saudara sekandung (senina) dan kerabat lain yang termasuk kategori senina-senina (kerabat dekat). Kategori senina ini dilihat dari keturunan satu ayah atau satu kakek (Ahimsa-Putra, 1986).
Larangan lainnya ialah ketika terjadi situasi di mana seorang pemuda A hendak menikahi gadis B yang saudara pria sekandungnya telah menikahi saudara perempuan sekandung si pemuda A.
Kedua larangan itu diterapkan secara ketat dan tidak boleh dilanggar sama sekali untuk menjaga pranata dan relasi sosial yang fundamental.
Dalam masyarakat Batak Karo, yaitu sangkep sitelu. Sangkep sitelu atau “tiga yang utuh” ini terdiri dari unsur kelompok anakberu-senina-kalimbubu yang berfungsi sebagai media pemersatu dalam pertalian kekerabatan orang Batak Karo.
Ketiga unsur dalam sangkep sitelu menjadi kunci dasar penggerak kehidupan adat dan sistem ini mewujud secara fungsional dalam upacara adat seperti perkawinan, kematian, dan penyelesaian pertikaian. Apabila aturan ini diabaikan maka yang terjadi ialah kekacauan.
Dalam perkawinan misalnya, senina ialah kelompok yang berhak diberi gadis oleh kelompok kalimbubu, sementara anakberu merupakan kelompok yang berhak menerima gadis dari senina. Unsur anakberu-kalimbubu-senina ini juga tampak dalam pendirian desa.
Desa baru boleh didirikan dan dikatakan lengkap bila selain ada klen tertentu, unsur sangkep sitelunya juga harus tinggal di sana (Singarimbun, 1975).
Pada struktur sistem politik tradisional mereka, aktivitas kepala desa dibantu oleh salah satu anakberu-nya dan seorang senina-nya, sedang kalimbubu-nya berperan sentral dalam upacara adat dan keagamaan. Ini berlaku pula dalam rumah adat.
Idealnya satu rumah dihuni oleh sangkep sitelu yang masing-masing akan menempati ruangan tertentu dalam rumah. Saat upacara memasuki rumah baru pertama kali, pemilik rumah akan diiringi oleh kerabat-kerabatnya (senina), anakberu, dan juga kalimbubu-nya.
Dari potret sistem perkawinan dan kekerabatan adat Batak Karo di atas, setidaknya kita dapat memetik nilai positif untuk kehidupan kekinian yang begitu modern, bahwa di dalam alam masyarakat yang sederhana terdapat norma yang menjamin kerekatan sosial antarklen dan subklan.
Juga, ada tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh tiap individu di lingkup merga, seperti saling tolong-menolong dan berbagi kebahagiaan serta kesedihan. Dan ini semua dilakukan demi menjaga keharmonisan kehidupan.