Mental Batak Menyerupai Revolusi Mental
Etnik Batak yang berasal dari Sumatera Utara sangat terkenal dengan sistem kekerabatan, budaya dan adat yang sangat kuat.
Tata cara adat, yang konon hasil kreasi kakek moyang orang-orang Batak sejak ratusan tahun, atau mungkin ribuan tahun silam, hingga kini masih dijunjung tinggi oleh keturunannya.
Bukan hanya di tanah leluhur atau bona pasogit, di tanah rantau yang jauh pun, kebanyakan masyarakat Batak tetap setia dengan adat. sekalipun sudah bermukim jauh dari tanah leluhur.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi warisan leluhur ini masih banyak yang baik dan relevan di masa kini.
Tapi sebaliknya kita pun harus mengakui kalau ada yang perlu direvisi, untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Salah satunya adalah yang menyangkut pesta adat pernikahan.
Sesuai adat dan tradisi orang Batak, pernikahan itu sangat sakral, mulia dan agung.
Hal ini sudah tampak dari proses dan tahapan panjang yang harus dilalui keluarga kedua belah pihak, hingga pasangan pengantin bersanding di pelaminan untuk menerima pemberkatan secara adat.
Patut disyukuri pula bahwa menguduskan pernikahan ini sangat relevan dengan iman kristiani yang dianut oleh mayoritas suku Batak.
Bagi kebanyakan orang Batak, secara khusus yang beragama kristiani, rasanya belum sempurna kalau pernikahannya tidak dilaksanakan dalam upacara adat penuh.
Upacara pernikahan adat memang tidak harus dengan pesta besar dan meriah, yang bisa memakan biaya ratusan juta rupiah. Yang penting semua unsur dan tahapannya terpenuhi, suatu pernikahan sudah dianggap memenuhi tuntutan adat.
Tentang hal ini ada ungkapan dalam bahasa Batak “na bolon do na metmet”, artinya, sekalipun pesta adatnya sederhana, namun maknanya secara adat sudah terpenuhi.
Tidak praktis
Tetapi, di kota-kota besar seperti Jakarta, seringkali pesta pernikahan adat ini dilaksanaan dengan “tidak praktis”. Paling tidak inilah kesan yang ditangkap penulis yang sudah sering terlibat karena merupakan keluarga inti salah satu pengantin.
Disadari atau tidak, banyak dana, tenaga, waktu, pikiran yang terbuang karena hal-hal yang tidak praktis, namun terasa dipaksakan ini. Berikut ini sekilas rangkaian di hari pernikahan:
Pada hari “H”, acara diawali dengan “marsibuhabuhai” (pembukaan). Pagi hari, antara pukul 07.00 – 08.00, mempelai pria dan keluarga menjemput mempelai wanita ke rumah mereka. Acara ini biasanya sekitar 30 menit hingga satu jam.
Usai acara, kedua mempelai dan seluruh rombongan berangkat ke gereja untuk ibadah pemberkatan. Apabila jarak rumah kedua mempelai dan gereja tidak terlalu jauh, seperti di kampung, tentu tidak masalah.
Sebaliknya, bisa dibayangkan bagaimana ribetnya, ketika rombongan mempelai pria yang mukim di Depok (Jawa Barat) menuju rumah mempelai wanita di Tanjungpriok (Jakarta Utara) untuk menjemput pengantin sekaligus acara marsibuhabuhai.
Usai acara pembukaan ini, rombongan konvoi lagi ke Depok karena acara pemberkatan diadakan di sebuah gereja di Depok.
Soalnya, pengantin pria ingin acara pemberkatan dilakukan di gereja tempat mereka jadi jemaat! Semua rangkaian acara memang sudah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak sewaktu “marhusip” atau “martonggoraja”.
Biasanya di kantor gereja pula dicatatkan pernikahan kedua mempelai di hadapan petugas catatan sipil yang didatangkan ke sana.
Setelah itu, barulah diadakan acara ibadah gereja, dipimpin pendeta untuk memberkati pernikahan itu, yang bisa memakan waktu antara 1 – 2 jam. Usai ibadah, rombongan menuju tempat resepsi atau pesta adat.
Bila gedung pesta di aula gereja tersebut atau di kawasan sekitar gereja, mungkin urusan tidak terlalu ribet. Tapi bila gedungnya di Jakarta, bisa dibayangkan berapa banyak waktu yang habis untuk itu, dan syukur bila lalu-lintas normal atau lancar.
Boleh dikatakan, penyampaian ulos sebagai simbol berkat (pasu-pasu) kepada mempelai adalah puncak acara adat itu.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, penyampaian ulos inilah yang paling banyak memakan waktu.
Penyampaian ulos ini memang menghadirkan rasa girang, semangat, dan sukacita karena diiringi musik riang dan banyak orang yang berjoget ria.
Orang Batak terkenal “suka bicara”, apalagi saat memberikan nasihat kepada pengantin, rasanya tidak afdol kalau tidak disertai umpasa (pantun bahasa Batak), yang padahal kedua pengantin belum tentu mengerti pula.
Sewaktu tiba giliran menyampaikan ulos, pemimpin rombongan sering bicara bertele-tele, tidak memperhitungkan waktu, padahal masih banyak sanak keluarga lain yang menunggu giliran menyampaikan ulos. Maka tidak heran bila ada pesta yang berlangsung sampai pukul 20.00.
One stop wedding party
Adat atau tradisi adalah budaya hasil kreasi masyarakat. Adat mestinya luwes dan moderat, dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi.
Terkait pesta adat perkawinan ini, masyarakat Batak yang bermukim di kota-kota besar seperti Jakarta, sudah selayaknya memikirkan sebuah terobosan berani supaya rangkaian dapat dilaksanakan secara praktis, dan tanpa mengurangi kesakralan tradisi.
Mengadopsi konsep bisnis “one stop shopping”, pesta adat pun sebenarnya bisa “one stop wedding party”, semua dilakukan dalam satu tempat.
Dalam konsep “one stop wedding party” ini, seluruh rangkaian pernikahan adat dilangsungkan dalam satu titik. Jadi, di hari “H” itu, keluarga mempelai, seluruh kerabat, tamu, undangan sama-sama bergerak menuju satu titik, dari rumah masing-masing. Acara marsibuhabuhai, pemberkatan pernikahan, dan resepsi (adat) dilangsungkan di satu tempat/gedung saja.
Misalnya, gedung tempat acara dilaksanakan, harus dilengkapi fasilitas berupa: “rumah keluarga mempelai wanita” untuk tempat marsibuhabuhai. Di sebelahnya ada ruangan yang berfungsi sebagai gereja, untuk ibadah pemberkatan.
Pendeta dan majelis dihadirkan di sana. Usai acara pemberkatan, seluruh rombongan hanya berjalan santai ke tempat acara adat. Semua acara dalam satu titik. Betapa praktis dan ekonomis. Hemat waktu, dana, dan tidak melelahkan!
Untuk sampai pada tahapan ini jelas tidak mudah. Sangat sulit untuk merombak sesuatu tradisi yang dinilai sudah mapan. Jika Jokowi punya gagasan “revolusi mental”, orang Batak pun mestinya merevolusi mental terkait pelaksanaan adat supaya sesuai perkembangan zaman dan kondisi.