Cari

Arti dan Posisi Anak Boru/Anak Beru Dalam Masyarakat Etnis Batak

Posted 23-06-2017 21:22  » Team Tobatabo
Foto Caption: Ilustrasi Wanita Batak

Posisi tertinggi dalam Adat Batak adalah Mertua (Karo: Kalimubu, Toba/Angkola: Hula-hula, Simalungun: Tondong, Mandailing: Mora, Pakpak: Kula-kula).

Dalam masyarakat Adat Batak dulu dan masih banyak mempercayai hingga kini Mertua dianggpa sebagai “Tuhan” yang kelihatan atau setidaknya wakil terdekat Tuhan. Suatu jabatan spiritual Paling tinggi.

Dalam Masyarakata Adat Batak jika sesorang mau menjadi menantu lelaki, maka orang itu dianggap sebagai Anak Beru (Toba-Simalungun-Mandailing-Angkola: Anak Boru/Pakpak: Marberu) (Karo), yakni berada dalam posisi dibawah, posisi yang harus siap untuk melayani, menjaga, melindungi dan membela mertua.

Ini adalah posisi yang berulang tergantung tempat dan acara dimana seseorang berada. Yang jelas dalam Adat Batak mertualah yang lebih berkuasa dan terhormat bukan sebaliknya.

“Pemberian” seorang Puteri Batak pada orang yang menerima adalah pernyataan tunduk pihak laki-laki yang menerima, bukan sebaliknya, Puteri/Anak perempuan dalam adat Batak tidak pernah jadi Persembahan sebagai pengakuan atas kedaulatan yang menikahinya.

Jadi begitu Jugalah kenapa Aceh dan Batak sampai berperang secara fisik Tahun 1539. Disebut dalam catatan perjalanan Fernand Mendez Pinto, Raja Batak Anggisori Timoraia menolak permintaan tunduk pada Aceh secara aturan (adat) masa lalu.

Dimana Sultan Aceh meminta Raja Batak tersebut untuk menikahi saudari Sultan Aceh, sementara disebut Raja Batak sudah cukup tua (yakni memasuki usia pernikahan ke 26 tahun dengan Istrinya).

Ini juga adalah sebuah trik diplomasi jaman dulu seperti ketika pihak Belanda meminta Sisingamangaraja XII tunduk secara damai, maka secara etika tentu tidak ditolak secara mentah-mentah.

Maka dipakailah jalan adat sebagai Sarana Diplomasi, yakni secara Adat Batak Sisingamangaraja XII hanya boleh tunduk  pada pihak mertuanya, dalam hal ini jika Ratu Belanda mau menjadikannya menantu dengan menikahkan dengan puteri Ratu Belanda.

Begitulah juga mengapa saat menyingkir ke Lintong Nihuta dari serbuan Belanda (kampung Mertua Sisingamangara XII), Sisingamangaraja XII tidak berkemah dalam Kampung tetapi diluar Kampung.

Karena aturan Adat itu sendiri dimana mertua adalah posisi tertinggi mengikat semua Batak tanpa terkecuali, jadi pernyataan bahwa Ompu Babiat Situmorang Sebagai Panglima Sisingamangaraja XII adalah kesahalan fatal, bahwa Adat sebagai Hukum waktu itu yang mengikat semua golongan adalah bersifat mutlak   (Sitor Situmorang: Toba Na Sae).

Hal-hal demikian dulu lazim dilakukan sebagai media diplomasi dan seluruh sendi kehidupan (termasuk Politik) untuk mengikat persaudaraan, mengembangkan daerah kekuasaan atau mendapat bagian dari warisan, atau agar warisan tanah tidak jatuh ke Marga lain dan begitulah dulu cara diplomasi dan negoisasi Batak untuk menghentikan atau menghindari perang.

Penolakan perjodohan adalah bentuk penghinaan yang juga bisa dikatakan sebagai ajakan atau pernyataaan perang.

Posisi menantu lelaki (Anak Beru (Toba-Simalungun-Mandailing-Angkola: Anak Boru/Pakpak: Marberu)) dalam Bahasa kasarnya adalah yang membantu Mertuanya dalam setiap kegiatan, bisa jadi duta (sepertinya Aquareem Dabolay yang juga menantu Raja Batak yang diutus menjumpai Kapten Portugis di Malaka – Pinto 1539).

Menantu (Karo: Anakberu) dalam Skala Politik kekuasaan bisa di jadikan Panglima Kampung (Simalungun: Huta), dimana letak Rumah dan Tanahnya pun seperti memagari yang menjadi Raja yakni Mertuanya.

Dalam skala lebih kecil Anak Beru (Toba-Simalungun-Mandailing-Angkola: Anak Boru/Pakpak: Marberu) adalah kelompok orang dapur yang mempersiapkan segala sesuatu untuk memperlancar Acara Adat (Pesta).

Posisi ini bisa jadi konflik berkepanjangan dan bahan perbincangan, jika katakanlah seorang Menantu (Anak Beru (Toba-Simalungun-Mandailing-Angkola: Anak Boru/Pakpak: Marberu)) tidak di libatkan oleh mertua dalam kegiatannya maka itu bisa menjadi seperti penghinanaan dimana akan menghancurkan harga dirinya dimata masyarakat.

Adalah kehormatan jika Menantu (Karo: Anak Beru (Toba-Simalungun-Mandailing-Angkola: Anak Boru/Pakpak: Marberu)) selalu di libatkan butuhkan dan diberi kepercayaan oleh pihak Mertuanya dalam acara-acara dan rencana-rencana yang dirancang mertuanya.