Cari

Ahli Waris Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu Minta Pembangunan WTA di Huta Ginjang Dihentikan

Posted 26-05-2018 09:46  » Team Tobatabo
Foto Caption: PERTEMUAN: Kordinator Umun Forum Perjuangan Tanah Ulayat/Adat Keluarga Besar Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu Ir Kompi Aritonang

Kordinator Umum Forum Perjuangan Tanah Ulayat/Adat Keluarga Besar Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu Ir Kompi Aritonang didampingi Irjen (Purn) Robert Aritonang dan sejunlah pengurus forum lainnya meminta pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut menghentikan pembangunan Taman Wisata Alam (WTA) di eks perkampngan nenek moyang mereka di Aek Siduadua/ Aek Godang, Dusun III, Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Permintaan iu disampaikan langsung kepada Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi dalam pertemuan yang berlangsung di Kantor BBKSDA Sumut Jalan Sisigamangaraja, Medan, Rabu (23/5).

Kompi Airtonang bersama lima rekannya yang mewakili ribuan kepala keluarga ahli waris Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu juga dengan tegas meminta pihak BBKSDA Sumut mengembalikan lahan seluas 71 hektar itu kepada masyarakat pemiliknya, karena sejarah membuktikan bahwa lahan tersebut adalah tanah ulayat/adat para lelehur mereka ditandai dengan peninggalan eks perkampungan, yang dulunya bernama Kampong Lobu Hatoguan.

Pertemuan ini adalah tidak lanjut pertemuan sehari sebelumnya, Rabu (22/5) antara pengurus forum dan sejumlah masyarakat Huta Ginjang dengan Kepala Kantor Bidang KSDA Wilayah II Pematangsiantar Seno Pramudito dan sejumlah stafnya di Pematangsiantar.

"Kami minta pembangunan WTA dihentikan dan lahan tersebut dikembalikan kepada ahli warsi Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu,' kata Robert Aritonang    

Disebutkan, pada tahun 1962 lalu tanah itu pernah dipinjampakai Pemkab Taput untuk ditanami pohon pinus.Perjanjian ketika itu, sesuai dokumen yang ada, pinjam pakai hanya untuk satu siklus tanaman pinus atau sekira 25 tahun, yang berarti setelah pinus yang ditanam ditebang tanah harus dikembalikan kepada pemliknya.

Sesuai dengan perjanjian,  tanah sudah harus dikembalikan pada tahun 1987 lalu. Namun ternyata, dalam masa pinjam pakai itu, pemerintah mengeluarkan regulasi yang merobah peruntukan kawasan jadi hutan lindung, sehingga masyarakat pemiliknya merasa dibohongi. Padahal puluhan tahun sebelumnya sejak dihuni leluhur secara turun -temurun lahan tersebut tidak pernah dinyatakan sebagai kawasan hutan.

Menurut Kompi, sebenarnya beberapa pihak pernah juga  berupaya meguasai lahan tersebut, setelah masa perjanjian pinjam pakai habis. Namun para ahli waris Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu terus menentang upaya penguasaan lahan tersebut dan akhirnya gagal.

Pada kesempatan pertemuan itu, pengurus forum juga menginformasikan bahwa mereka akan menggunakan lahan tersebut untuk lahan pertanian, sehingga mereka berharap pihak BBKSDA Sumut menghentikan pembangunan WTA tersebut.

Namun harapan para ahli waris Ompung Datu Dolok dan Ompung Buntu Ompusunggu tersebut tidak bersambut. Hotmauli Sianturi yang didampingi tiga stafnya termasuk Seno Pramudito malah meminta agar pembangunan WTA tidak dihalangi. "Kami meminta pembangunan WTA tersebut tidak dihalangi, karena prroyek tersebut mendukung program pemerintah yang menjadikan kawasan Danau Toba menjadi destinasi wisata. Ada konsekwensi hukum jika itu dihalangi, "kata  Hotnida.

Sementara untuk pengembalian lahan kepada warga, menurut Hotnida bukanlah wewenangnnya. Dia mengaku hanya mengelola kawasan yang telah ditunjuk pemerintah. Sesuai administrasi, yang dimilikinya lahan tersebut adalah kawasan hutan dan dia bekerja sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. "Kalau ada yang menginginkan kawasan itu dilepas, silakan ke kementerian, saya tak bisa menghalangi" kata Hotmauli. 

Hotmauli juga menepis anggapan bahwa pembangunan proyek WTA itu tidak disosialisasikan dengan baik kepada warga. Menurut Hotmauli, pihaknya dua kali melakukan pertemuan dengan warga yang diketahui kepala desa waktu sosialisai. Namun ketika utusan warga mempertanyakan notulen pertemuan, yang bersangkuan tidak bisa menujukkannya, tetapi dia menyebut ada notulennya. "Kalau tersosialisasi dengan baik, mana mungkin terjadi konplik," kata Kompi Aritonang.  

Selain itu, Hotnida juga membantah pelaksanaan proyek itu tidak transparan karena tidak memliki plang proyek, yang menunjukkan berapa anggarannya, volume pekerjaan dan masa pembangunannya. " Proyek tidak harus memakai palang," katanya.

Pada akhir pertemuan dengan tegas Robert Aritonang meminta Kepala BBKSDA Sumut bertanggungjawab jika ada persoalan yang timbul akibat pembangunan WTA tersebut, karena warga telah bertekad untuk menghentikannya dan mereka akan menguasai lahan untuk pertanian.

Dikutip dari HarianSIB