Tahun 2019, Edy Rahmayadi Fokus Bayar Utang Sumut Yang Triliunan
MEDAN - Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, menyampaikan pernyataaan mengejutkan dalam satu rapat internal yang diunggah lewat akun YouTube Humas Pemprov Sumut.
Edy mengatakan pemerintahan daerah yang dipimpinnya tidak dapat berbuat banyak pada tahun 2019 lantaran akan fokus untuk membayar utang.
"Kata guru ngaji saya, utang harus dibayar duluan, Ed (Edy Rahmayadi). Begitulah dari kecil saya diajarkan. Karena kau besok mati, kau sudah tak punya utang. Untuk itu saya mohon maaf semuanya. Tahun 2019 saya tak terlalu bisa banyak berbuat," katanya.
Dikemukakan Edy lebih lanjut, APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut tahun 2019 akan dialokasikan lebih banyak untuk menutupi utang.
"Ke depan tak boleh terulang lagi. Jangan diulangi, utang terus, utang terus. Bubar kita nanti," ujarnya.
Apakah Pemprov Sumut memang berutang banyak? Anggota Badan Anggaran (Banggar) APBD Sumut Tahun 2019, Ziera Salim Ritonga, membenarkan.
Disebut dia, utang menumpuk pada Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tahun 2017-2018, lantaran dipakai dialokasikan untuk belanja lain.
Besarnya tak tanggung-tanggung pula. Dari DBH PKB saja mencapai Rp 2,3 Triliun.
"Terhutang kepada kabupaten kota. Saya tidak tahu berapa jumlah totalnya. Karena kemungkinan bukan ini saja (DBH PKB). Untuk yang ini, akumulatif ada di kisaran angka 2,3 triliun. Akumulatif karena sudah terjadi sejak era Gatot (Pujo Nugroho) dan berlanjut di Tengku Erry (Nuradi). Sewaktu mengetahui adanya DBH PKB yang tidak dibayarkan, saya teriak kenapa bisa terjadi," ucapnya pada Tribun di Medan, Minggu (24/2).
Pada era Gatot, imbuh Ziera, DBH digunakan untuk belanja kepentingan yang bukan peruntukannya, hingga menjadi utang kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Gatot menyebut utang akan diselesaikan 2017. Namun, tidak direalisasikan.
"Jadi manipulasinya berlanjut di era Tengku Erry. Uang DBH PKB, setahu saya, ada yang dibelanjakan untuk pembelian sepeda motor yang kemudian dibagikan ke desa-desa. Padahal untuk ini sebenarnya sudah ada anggarannya," ujar Ziera.
Kepala Badan Pengelola Pajak Retribusi Daerah (BPPRD) Sumut, Sarmadan Hasibuan, juga membenarkan tunggakan DBH PKB ini. Namun ia mengaku tidak tahu persis berapa jumlahnya.
"Karena, kan, sudah ada yang dibayarkan. Berapa jumlah yang sudah dibayarkan dan berapa yang masih belum. Untuk lebih jelas coba tanyakan ke Agus Trippiyono (Kepala BPKAD Sumut). Dia yang lebih tahu angkanya itu, karena dia yang membayarkan," katanya.
Sarmadan menjelaskan pula, dana ini dipakai Tengku Erry untuk membantu kekurangan anggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumut. "Mungkin disitu yang digunakan banyak. Makanya DBH 2018 tidak dibayarkan," ujarnya.
Agus Tripriyono yang dihubungi kemudian, menjelaskan bahwa utang terjadi karena Pemprov Sumut batal menggelar pembahasan P-APBD bersama legislatif pada akhir tahun 2018.
"Kan dulu kita ada mau ada P-APBD, tapi enggak jadi dilakukan. Jadi, angkanya dibawa ke 2019. Utang tahun 2017-2018, nominalnya berapa di kantor saja nanti saya jelaskan. Saya lagi enggak pegang data. Besok sajalah saya jelaskan di kantor, ya," kata Agus.
Diketahui, rapat paripurna DPRD Sumut gagal menandatangani nota kesepakatan KUA-PPAS PAPBD 2018 karena tidak ada kesepahaman antara Banggar DPRD Sumut dan TAPD.
Akibat tidak adanya kesepakatan ini, pembahasan P-APBD Sumut 2018 nihil dan tentunya yang diberlakukan tetap APBD murni tahun anggaran 2019.
Namun pernyataan ini dibantah politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem), Nezar Djoeli. Menurut dia, munculnya utang Pemprov Sumut tidak ada korelasinya dengan batalnya pembahasan P-APBD tahun 2018.
"Utang yang ada saat ini, kan, utang berjalan dan bagi hasil pajak dibayar ke kabupaten dan kota. Ini yang menjadi persoalannya. Lagi pula, yang namanya menjalankan pemerintahan, ya, wajar utang. Terpenting utang ini bisa dibayar," ucapnya.
Yang perlu disoroti, sambungnya, ada beberapa capaian pendapatan asli daerah (PAD) yang mungkin tidak dapat diambil oleh Pemprov Sumut, hingga jika sampai caturwulan empat tidak terealisasi akan menyebabkan nomenklatur anggaran yang tidak sehat.
"Misalnya, pajak air permukaan PT Inalum. Target Pemprov Sumut dalam sengketa pajak kemarin, Mahkamah Konstitusi memutuskan Inalum membayar pajak ke Pemprov Sumut kurang lebih Rp 1,5 triliun. Sampai hari ini, kan, belum terealisasi. Sementara dalam penganggaran sudah dianggap ada. Makanya tiap dinas mengajukan usulan-usulan untuk melakukan kegiatan belanja langsung di periode 2019," ucapnya.
Terkait pernyataan Ziera, Nezar Djoeli, menyebut pembagian sepeda motor dilakukan melalui Dinas Sosial Provinsi Sumut dan dengan mekanisme yang sesuai peraturan berlaku.
"Sudah masuk dalam pembahasan anggaran tahun 2018. Jadi mana pula bisa dianggap utang. Kan, APBD-nya ada. Karena ada permintaan dari dinas sosial terhadap pengadaan sepeda motor, ya, kami bahas di banggar dan diberikan. Kalau bicara soal kepentingan politik, kan, kita tahu sama-sama kalau Pak Erry enggak maju (dalam kontestasi Pilkada Sumut). Berarti ini murni dari permintaan dari masyarakat. Lagi pula, kalau ada pelanggaran, pasti jadi temuan BPK. Ini, kan, tidak," katanya.
Tengku Erry Nuradi sampai berita ini ditulis belum dapat dimintai konfirmasi. Kontak lewat nomor telepon selularnya tidak memperdengarkan nada sambung.
Bersikukuh Anggota Banggar DPRD Sumut yang lain, Sutrisno Pangaribuan, justru lebih menyoroti sikap Edy Rahmayadi.
Menurut dia, kebijakan yang dilakukan Pemprov Sumut tahun ini merupakan akibat dari permasalahan tidak disepakatinya Perubahan -APBD 2018.
"Tengku Erry, kan, waktu itu masih punya rencana untuk Pilkada Sumut. Jadi dana bagi hasilnya ditunda pembayarannya. Seharusnya, kan, dibayar di induk, dengan harapan P-APBD 2018 bisa menyelesaikan pembayaran utang. Bisa dicicil. Namun ternyata Pak Edy justru bersikukuh saat itu. Pak Edy ingin membangun format baru APBD perubahan 2018, hingga angka-angka yang telah disepakati dibatalkan sepihak. Kita (DPRD) menolak pembahasan APBD itu karena dokumen yang harusnya telah disepakati dan sudah diparaf disajikan berbeda saat pembahasan," katanya.
Di lain sisi, Sutrisno menilai pernyataan Edy Rahmayadi pada video yang disebar lewat YouTube itu potensial menimbulkan kebingungan publik.
"Nanti masyarakat beranggapan semua APBD akan digunakan untuk membayar utang. Padahal, kan, ada anggaran rutin. Kalaupun dipakai untuk bayar utang, bisa dilakukan pengurangan anggaran di beberapa tempat. Misalnya anggaran untuk infrastruktur, bisa dikurangi," ucapnya.
Pernyataan senada dikemukakan Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut, Brilian Moktar. Ia berharap Edy Rahmayadi dapat mengedepankan jalan keluar yang lebih baik untuk mengatasinya. Jangan malah mengorbankan pembangunan dan masyarakat.
"Saya pernah di banggar berkali-kali. Kalau memang Pak Edy serius, tiap bulan sebenarnya utang itu bisa dibayar dengan dicicil. Kalau memang mau, ya, bisa. Tinggal kita buat kesepatakan. Jangan utang ini jadi komoditas politik pula," ujarnya.
Dipapar Brilian, utang yang ada saat ini semestinya tidak akan memberi pengaruh besar pada pembangunan Sumut secara keseluruhan di tahun 2019.
"Sepengetahuan saya utang tersebut hanya satu bulan saja, bulan Desember. Tagihan Desember belum bisa bayar karena close-nya di bulan yang sama. Karena itu dibayar di tahun anggaran berikutnya. Kalau P-APBD bisa diselesaikan, pasti terbayar," katanya.
Pengamat Politik Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar, meminta kepada semua pemangku kebijakan agar dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara detail dan jelas.
"Mungkin maksud Pak Edy bukan itu. Tapi harusnya beliau harus lebih jelas dalam menyampaikannya, sebab di masyarakat bisa berbeda memahaminya. Saya yakin mengenai APBD 2019 itu tidak hanya dilakukan untuk pembayaran utang saja. Pasti mengenai anggaran rutin juga tidak boleh dikesampingkan. Jadi sekali lagi, harus jelas benar penyampaiannya," pungkasnya.