Ketika Gadis Jawa Menikah dengan Pria Batak Mandailing
"Boru Hasibuan" aku mendapat sebutan baru. Sebenarnya aku keturunan suku Jawa. Tapi sejak menikahi keturunan Batak Mandailing yang berasal dari Padang Lawas, aku mendapat tambahan nama marga, yaitu "Hasibuan".Tidak perlu menambahkannya pada KTP, nama ini hanya nama yang disandang, terutama saat upacara adat.
Mandailing adalah bagian dari Suku Batak yang lebih banyak tinggal di Sumatera Utara bagian selatan. Sebagian besar dari mereka beragama Islam. Ada yang memperdebatkan apakah Mandailing bagian dari Batak. Namun sebagian besar yang saya kenal dari paguyuban kekeluargaan suami, mereka menyebut dirinya sebagai Batak Mandailing. Saya rasa perbedaan pendapat seperti ini tidak menjadi soal. Indonesia tetap satu keluarga besar.
Beberapa teman pernah menanyaiku apakah aku perlu membeli marga atau membayar sejumlah uang kepada pihak tertentu untuk mendapatkan marga Hasibuan. Aku pun sempat mengira begitu.Tapi ternyata tidak. Aku tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk upacara ini.
Kebetulan calon suamiku, yang bermarga Siregar menghendaki diadakannya upacara adat. Beberapa orang Batak Mandailing yang telah di perantauan sendiri sebenarnya sudah jarang yang mengadakan acara adat pernikahan (Horja). Apalagi yang menikah dengan orang di luar marga. Terkadang hanya menggunakan dekorasi dan baju pengantin adat Batak saja.
Mangalehen Marga
Foto Mangulosi saat Mangalehen Marga (Dok. Pribadi)
Upacara adat Mandailing yang pertama kali aku ikuti adalah Prosesi Mangalehen Marga (Pemberian Marga) kepadaku selaku calon mempelai wanita, yang sesungguhnya merupakan keturunan Jawa. Dengan dilaksanakannya prosesi ini, maka aku sah menyandang marga Hasibuan, dapat mengikuti upacara adat Batak Mandailing, memiliki kedudukan yang diakui secara adat dan keturunan kami berhak menyandang atau meneruskan marga suami, yaitu Siregar. Prosesi ini tentu tidak perlu dilakukan bila kedua mempelai sama-sama bermarga Batak Mandailing.
Upacara adat ini dilaksanakan 2 bulan sebelum upacara pernikahan.
Prosesi Mangalehen Marga diselenggarakan oleh keluarga pihak calon pengantin pria, yaitu keluarga marga Siregar. Acara ini dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (Pemangku Adat). Keturunan Hasibuan Paringgonan telah diminta untuk menabalkan marga. Hadir pula pada acara itu Kahanggi, yaitu sebutan untuk keluarga yang bermarga sama dengan suamiku, yaitu Siregar, sebagai tuan rumah atau penyelenggara upacara; Mora yaitu keluarga bermarga Hasibuan, sebagai keluarga yang akan dipersunting; dan juga Anak Boru yang kebetulan Anak Boru dari pihak Siregar calon suamiku adalah marga Harahap. Anak boru adalah keluarga yang menikahi wanita dari pihak penyelenggara acara (wanita bermarga Siregar).
Ketiga unsur utama ini, yaitu Kahanggi, Mora dan Anak Boru, disebut Dalihan Natolu. Kehadiran Dalihan Natolu menjadi syarat sahnya upacara adat yang kami selenggarakan.
Selain Dalihan Natolu, kami juga mengundang Hatobangon (sesepuh) dan perwakilan marga-marga Mandailing lainnya.
Sebagai salah satu syarat upacara Mangalehen Marga maka juga dilakukan penyembelihan seekor kerbau untuk melengkapi upacara adat ini. Selain kerbau, hewan yang juga bisa dipilih adalahkambing atau ayam, sesuai kemampuan.
Kenapa memilih marga "Hasibuan"? Hasibuan adalah Mora keluarga suamiku. Opung dari suami ku menikah dengan keturunan Hasibuan. Ketika Ayah suami menikahi wanita diluar suku maka akan diberi marga sesuai dengan marga Ibunya. Begitupula dengan suamiku.
Pada acara itu, aku didoakan, ditaburi beras kuning, mendengarkan petuah (mangupa) dan diberikan sebuah ulos khas Batak Mandailing.
Horja Batak Mandailing
Prosesi pernikahan adat Batak kami laksanakan setelah prosesi akad nikah dan prosesi pernikahan adat Jawa dilakukan di Solo, Kota kelahiranku. Keluargaku kala itu juga mengadakan prosesi lengkap, mulai dari pemasangan bleketepe, siraman, dodol dawet, midodareni, hingga acara utama panggih.
Pada Horja (Pesta Pernikahan) Batak Mandailing kami bersama rombongan keluarga diarak oleh dua orang pencak silat, penari, pembawa tombak dan pembawa payung.
Foto Arakan Pengantin Mandailing
Mempelai pria menggunakan penutup kepala yang disebut Happu, sedangkan mempelai wanita bermahkota Bulang Mandailing. Di depan ikat pinggang kami diselipkan sepasang keris berwarna emas.
Foto Pakaian Pengantin Mandailing (Dok.Pribadi)
Bukan bunga, di tanganku memegang sebuah keranjang burangir bertuliskan namaku "Melisa Emeraldina Hasibuan".
Gordang Sambilan mengiringi langkah kami.
Gordang sambilan merupakan alat musik sakral khas suku Batak Mandailing. Untuk dapat menabuh Gordang Sambilan pada Horja, maka tidak sembarang keturunan Batak Mandailing bisa melakukannya. Hanya keturunan pendiri kampung (pemimpin) atau Raja yang dapat melakukannya. Selain keturunan tersebut, maka wajib izin kepada Raja. Syarat ditabuhnya Gordang Sambilan juga perlu dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau lagi.
Foto Gordang Sambilan dalam Pernikahan Batak Mandailing (Dok. Pribadi)
Manortor
Manortor merupakan tarian adat Batak yang dilaksanakan di banyak upacara adat Mandailing, salah satunya upacara pernikahan. Kami berlatih tarian manortor selama 2 hari. Gerakannya simpel, namun kami terus mengulang berlatih agar bisa menari dengan baik.
Mempelai pria akan mengangkat kedua tangan ke depan, setinggi bahunya. Menggerakkan kedua tangan dan memutar tubuh ke kanan dan kiri. Mempelai wanita mengangkat kedua tangannya di depan perut dan menjentikkan jarinya. Arah pandangan mata ke arah tangan. Begitu pelatihku mengajarkan.
Foto Manortor (Dok.Pribadi)
Kami menari diiringi musik gordang sambilan dan lirik lagu dalam bahasa Batak Mandailing yang berupa doa tentang kami. Aku penasaran, lalu kuminta suamiku untuk menerjemahkannya. Kurang lebih, ini artinya dalam bahasa Indonesia.
"Tersebutlah suatu kisah yang kelak akan abadi dari masa ke masa. Pemuda Siregar yang amat dibangga banggakan oleh Opung-opung leluhurnya dari dataran tinggi (Sihaporas) akhiri masa lajangnya dengan wanita cantik dari tana muara utama sungai (Paringgonan). Ayah Ibu, semua keluarga besar dan masyarakat menyambutnya dengan sangat suka cita bahagia. Semoga kelak akan berbahagia, mempunyai keturunan yang soleh dan bertakwa, hubungan yang langgeng sampai akhir masa, menjadi kebanggaan dan panutan masyarakatnya kelak. Sang Suami akan membimbing dan melindungi wanitanya, sang Istri akan menjadi Istri yang berbakti kepada suami"
Indah bukan?
Manabalkan Gelar Adat
Suamiku telah memiliki gelar adat sejak berumur 7 tahun, ketika Opungnya meninggal. Menurut kepercayaan, sebelum 40 hari meninggal, maka tondi (jiwa) Opungnya masih ada di dunia. Maka Opung berpesan agar gelar adat tersebut segera dipindahkan. Suamiku bergelar Sutan Panusunan Humala Barumun, artinya Pangeran Pemimpin Bermahkota dari Barumun.
Foto Manabalkan Gelar Adat pada tahun 1996 (Dok. Pribadi)
Aku pun mendapat gelar adat yang merupakan gelar pasangan dari Sutan Panusunan Humala Barumun. Gelar itu sebelumnya disandang Nenek dari suamiku.
Aku mendapat gelar Namora Suri Pardomuan, artinya Putri yang Mempertemukan.
Foto Duduk diatas permadani 7 lapis (Dok.pribadi)
Kami duduk diatas permadani 7 lapis berwarna warni. Kami berdua dan para peserta upacara adat Manabalkan Gelar Adat yang terdiri dari Pemangku Adat, Dalihan Natolu dan perwakilan marga lainnya duduk melingkar. Di depan kami disajikan tumpeng nasi kuning beserta lauk pauknya. Sesuai adat kami akan mengambil 1 buah telur dan makan hingga kuning telurnya.
Foto Mangupa (Dok.Pribadi)
Selepas itu, dilakukan Mangupa, yaitu penyampaian doa, petuah dan harapan dari para Hatobangon dan keluarga.
"Horas! Horas! Horas!" pekik para tamu, ketika upacara adat selesai dilakukan.