30 Tahun Perang Batak: Lahirnya Raja Baru Dan Awal Pertikaian Perang Batak
Tak tercatat dalam sejarah, tetapi agaknya hadirin, terutama para tokoh Batak terhenyak mendengar kata-kata Soekarno yang menggugah itu.
Orang-orang Batak yang terpukau dengan kata-kata Soekarno itu, melalui perundingan yang menelan waktu, sepakat untuk memindahkan tulang-belulang Sisingamangaraja ke Balige.
Setahun kemudian, tanpa kehadiran Soekarno (dia hanya mengirimkan telegram ucapan selamat), prosesi saring-saring, membawa tulang-belulang, Sisingamangaraja XII dari Tarutung menuju Balige berlangsung. Ini Tanah Batak, negeri purba.
Yang mistik dan yang nyata bersatu dalam mengusung tulang-tulang sang pahlawan. Boleh percaya boleh tidak! Sejak betolak meninggalkan Tarutung, iring-iringan yang membawa tulang-belulang Sisingamangaraja seperti memperoleh pengawalan dari haba-haba (angin puting beliung).
Raja Martahan di Napatar, cucu tertua Sisingamangaraja XII, yang dalam usia 12 tahun turut dalam upacara itu, mengenang, ketika rombongan sudah mendekati Balige, angin puting-beliung berada di depan prosesi, menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan. ”Haba-haba itulah yang menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja.
Ini fakta, karena saya melihat sendiri kejadian itu,” katanya.
Di kalangan orang Batak, Sisingamangaraja XII adalah kharisma dan sumber inspirasi. Kebijaksanaannya disanjung. Orang menganggapnya sakti, juga kebal, kecuali ternoda darah.
Banyak yang percaya, Baginda tewas di ujung peluru pasukan Belanda karena tubuhnya bersimbah darah putrinya yang lebih dulu tertembak.
Pulang dari Aceh
Perjalanan hidup Sisingamangaraja XII menggetarkan. Putra Sisingamangaraja XI dari istrinya Boru Situmorang ini semasa kecil bernama Patuan Bosar, lahir pada tahun 1849 di Bakkara.
Dia ditabalkan menjadi Sisingamangaraja XII pada tahun 1875 di Bakkara, huta yang menjadi pusat dinasti Sisingamangaraja. Kala itu, Patuan Bosar masih muda dan baru pulang dari Aceh Keumala mempelajari ketatanegaraan, strategi perang dan bahasa, terutama pengenalan huruf Arab.
Dipercaya, setiap raja dalam dinasti Sisingamangaraja, sejak raja yang pertama, apabila wafat, alam Tanah Batak turut berduka. Musim kemarau yang panjang menyapu seluruh daratan, menyengsarakan seluruh lahan pertanian.
Dan, tentu saja membikin sengsara penduduk yang kehilangan seorang raja. Karena itu, Sisingamangaraja yang baru harus ditabalkan.
Yang akan diangkat harus menjalani ujian, termasuk kemampuan mendatangkan hujan, mencabut senjata pusaka Piso Gaja Dompak sambil manortor dan dengan kesatria menyarungkannya kembali dengan mulus. Juga menjinakkan kuda putih yang akan digunakan sebagai tunggangan resmi seorang raja.
Alam yang tersiksa, itulah yang menerjang Tanah Batak setelah wafatnya Sisingamangaraja XI. Patuan Bosar sebenarnya enggan untuk mengikuti ujian, karena segan pada abangnya, Raja Parlopuk, yang dengan baik telah menjalankan roda pemerintahan kerajaan selama amang mereka, Sisingamangaraja XI, sakit-sakitan.
Lagipula, dia ingin melanjutkan pelajarannya di Aceh. Tetapi, apapun, seorang raja baru harus diangkat. Upacara penabalan diselenggarakan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora – untuk mempersiapkan upacara margondang.
Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor.
Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!
Lantas Si Onom Ompu mengumumkan raja baru sudah ditemukan. Prosesi berikut adalah mencabut dan menyarungkan Piso Gaja Dompak dengan mulus. Piso ini adalah salah satu warisan dari Raja Uti, Raja Hatorusan yang sakti di Barus, pusat peradaban ketika itu.
Raja yang baru terpilih kemudian tampil dengan mengenakan Ulos Jogia Sopipot sambil mengangkat pinggan pasu bertabur beras yang sudah di-pasu-pasu (diberkati) beralaskan Ulos Sande Huliman.
Ketika menempuh ujian tersebut, Raja Parlopuk memang berhasil mengundang mendung dan hujan gerimis. Tetapi, kesaktian Patuan Bosar melebihinya.
Tonggo-nya, doanya, mampu mendatangkan mendung yang lebih tebal disertai hujan lebat dan petir yang mengguntur. Maka jadilah dia
Sisingamangaraja XII, raja yang kemudian memimpin perang Batak selama 30 tahun (1878-1907).
Perang Batak adalah duka dengan cerita panjang.
Perang yang memakan waktu lebih dari satu generasi itu dimulai dengan pertikaian antara Raja Pontas dengan bius-bius (kumpulan marga-marga) di Silindung.
Mereka memprotes kelakuan Raja Pontas, salah seorang pemimpin bius, yang memberikan hak guna tanah kepada Belanda. Dengan hak guna itu, pada tahun 1876, dengan licik dan cepat Belanda bisa menguasai Silindung.
Sebelum Belanda menyerang Balige, Raja Pontas sempat bertemu dengan Sisingamangaraja XII. Ketika itu Baginda langsung mempertanyakan sikap Raja Pontas yang menguntungkan Belanda tersebut.
Namun, tak dinyana, di belakang Raja Pontas, pasukan Belanda sudah bersiap-siap melakukan penyerangan. Belanda menguasai basis logistik Toba-Balige bulan Mei 1878 sebagai reaksi terhadap pernyataan perang (pulas)yang dicanangkan oleh pemuka-pemuka bius pada tahun 1877 di Balige saat berlangsungnya onan, pasar tradisional di situ.
Bersambung, Baca 30 Tahun Perang Batak: Mata-mata Belanda