Cari

Sengketa di Tubuh Otorita Danau Toba, Menteri Luhut Akhirnya Hadirkan Raja Bius

Posted 17-09-2018 16:23  » Team Tobatabo
Foto Caption: Perwakilan Bius (Paguyuban) empat marga Bius Motung saat hendak berangkat ke Jakarta memenuhi undangan Menko Maritim Luhut Panjaitan mencari solusi sengketa lahan BODT, Minggu (16/9/2018) di Motung.

Tobasa - Hingga September 2018 Minggu ke dua, sebagian lahan pengembangan Badan Pariwisata Otorita Danau Toba (BPODT) yang berada di Desa Motung masih sengketa. Tuntutan masyarakat atas lahan milik mereka belum terealisasi.

Keberangkatan empat Raja Bius Motung ke Jakarta, Minggu, (16/9/2018) pagi dari Motung, Tobasa atas undangan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan mempertegas masih ada konflik di lahan tersebut yang harus diselesaikan dengan cara duduk bersama kedua belah pihak.

Perwakilan Bius (Paguyuban) empat marga di Motung yakni Sabar Manurung, Maniur Sitorus, Horijon Ambarita dan Bison Sirait serta perwakilan Warga Sigapiton berangkat minggu pagi menuju Bandara Kuala Namu.

Surat yang undangan yang mereka tunjukkan bertuliskan Kementerian Pariwisata yang disampaikan melalui Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BOPDT).

Pada surat undangan itu, dijelaskan tujuannya untuk menindaklanjuti hasil rapat sosialisasi Masyarakat Drsa Motung yang telah diadakan beberapa kali dan telah terbitnya SK MenLHK nomor 3197 tentang penetapan pelepasan kawasan Hutan untuk pengembangan kawasan pariwisata Danau Toba.

Tertera di lembar undangan, pertemuan digelar Senin 17 September 2018 bersama Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan.

Raja-raja Bius diminta melengkapi pernyataan tertulis mengenai aspirasi dan keinginan yang ingin disampaikan. Serta peta lokasi yang dimaksud, kelengkapan bukti lainnya terkait lahan tersebut.

Pada 29 Maret 2018 lalu, Ketua Badan Pariwisata Otorita Danau Toba (BPODT), Ari Prastyo bersama Bupati Darwin Siagian, Kapolres, Kepala BPKH, Kadispar melakukan kegiatan Sosialisasi Program Perencanaan BPODT di Lahan Sibisa Tobasa kepada masyarakat, di Desa Motung.

Pada pertemuan itu, beberapa poin disampaikan untuk membujuk masyarakat agar sesegera mungkin mengijinkan lahannya untuk diukur dan dipatok menjadi lahan BPODT.

Namun, warga tidak diam begitu saja dan bijaksana meminta transparansi segala kegiatan yang dilakukan di atas lahan penduduk.

Pada penjelasan program-program yang katanya menurutnya akan dijalankan, Ari membujuk agar warga bersedia diukur lahannya untuk pemasangan tapal batas.

"Jadi kami mohon ijin untuk pengukuran dan pemasangan patok atau tapal batas. Jadi masyarakat juga nanti yang paling merasakan dampaknya," sebutnya saat itu. 

Hal serupa juga disampaikan Rahman Panjaitan, Kepala Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan.

Terselip "rayuan" darinya kepada warga. Dia mengajak masyarakat menangkap manfaat dari pariwisata Danau Toba. Dirinya mengklaim berperan menyediakan lahan dari Sektor Kehutanan.

"Kami berperan menyediakan lahan dari sektor kehutanan. Sebenarnya tidak ada aturan-aturan yang ditabrak dalam penyediaan lahan untuk BODT. Jadi dari awal, semua ketentuan prosesur itu sudah ditempuh," sebutnya.

Diakuinya, mereka bukan pihak yang berhak mengajukan tempat tersebut menjadi lahan BODT. Sebelumnya Tim terpadu menginginkan 600 hektar, kemudian menjadi 386,5 hektar oleh Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Disebutnya, areal BODT nantinya bisa lepas dari kehutanan. Penyelesaian selanjutnya belakangan dalam teknis pelaksanaan.

"Ayo tangkap dulu. Kita terima saja dulu, kabarnya beberapa waktu lalu ada konsultan yang ditolak ketika mau mengukur. Nah, menurut kami biarlah dulu diukur. Nantinya kalau ada hal-hal yang belum terselesaikan, itu bisa kita selesaikan. Kalau ada yang masih mengganjal, nanti kita bicarakan kembali. Permohonan kami, ijinkan kalianlah dulu diukur dan dipasang tapal batasnya," bujuknya.

Usai mendengarkan harapan-harapan yang dijanjikan BPODT, masyarakat juga diberi kesempatan berbicara terkait pandangannya kehadiran BPODT. Satu-persatu, perwakilan warga menuangkan pemikirannya.

Bangkit dari kursi, Sabar Manurung Warga Motung maju ke depan memanfaatkan waktu.

Di antara poin-poin yang dia sampaikan, dia meminta agar pengukuran dilakukan secara transparansi di atas lahan mereka.

"Untuk jagoan rimba jangan seenak udelnya saja main caplok. Orang terkuat di Departemen Indonesia ini, kehutanan. Yang kami utarakan, kami sangat merindukan kehadiran otorita dan mendukung BODT. Permintaan kami, tolong jelas dan transparan. Karenanya, secara damai yang melarang konsultan dua minggu kemarin adalah kami, jangan dulu bah dari pihak kehutanan," tegasnya.

Sabar yang merupakan pendiri Hutan Kemasyarakatan (HKM) imi juga mempertanyakan, bagaimana bisa lahan mereka menjadi statusnya berubah menjadi kehutanan.

Di sisi lain, ia mengutarakan sebagian tanah mereka dilepas dari status kehutanan. Namun, dicaplok dibtempat berbeda dengan jumlahblebih besar. Dsampaikannya, bila Otorita ingin memakai lahan milik warga Motung, mereka terbuka asalkan tidak menghilangkan hak-hak penduduk dan sesuai sistem.

Sabar juga mengakui, beberapa kali hingga dua minggu sebebelum acara sosialisasi, bersama warga dia tidak mengijinkan pematokan dan oengukuran lahan oleh Tim Konsultan BODT yang diutus. Baginya, tidak ada kata pengukuran dan pemasangan tapal batas apabila di awal tidak ada perjanjian di atas materai. Dengan tegas, Sabar menolak semua "imingan", apalagi tidak disertai MoU kedua belah pihak.

"Bikin dulu perjanjiannya. Kami sangat mendukung dan mengimpikan serta mendukung pembangunan. Jangan seperti yang disebut sebut diukur dulu baru berjalan. Apa betul itu teknisnya berjalan seperti itu nanti?," kritiknya.

Sepaham dengan Sabar, Maniur Sitorus warga perwakilan desa Pardomuan mengaku mendukung BODT asalkan haknya tidak dikangkangi. Ditegaskanny tidak boleh ada pengukuran dan pembuatan tapal batas sebelum ada kesepakatan.

Hiras Butarbutar dari Desa Sigapiton membocorkan, pada awalnya mereka senang kehadiran BODT. Namun, akir-akhir ini desa mereka tinggal 81 hektar saja dari yang sebelumnya ratusan hektar.

"Yang jelas kami mendukung Otorita apabila tidak dibodohin. Tolong pak bupati, kuburan leluhur kami juga sudah diklaim status kehutanan,"terangnya kepada Bupati.

Sementara itu, Mangatas Togi Butar-butar   pemangku tanah adat Butarbutar Sigapiton menambahkan, sama dengan warga lain etuju dengan pembangunan. Tetapi, jauh hari sebelum ada BODT hinga saat ini jawaban atas tanah mereka belum ada.

Katanya, khusus warga Butarbutar mereka memohon kejelasan tanah ulayat mereka. Poin yang disampaikanya, terkait penyelesaian tanah HKM di wilayahnya.

Sebelumnya, amatan Tribun di Motung16 Maret 2018 lalu Tim Konsultan BPODT dipimpin Antonius dari Kementrian Pariwisata hendak melakukan pengukuran dan penanaman tapal batas. Namun, saat itu upaya mereka tidak berjalan mulus hingga akhirnya mengakomodir permintaan warga.

Seperti yang diutarakan Sabar pada pertemuan Sosialisasi, sebelumnya seorang Raja Bius Sitorus (Paguyuban marga Sitorus) juga menekankan agar tak satu pun pihak yang menguasai lahan ulayat mereka tanpa ada kesepakatan. Dia juga meminta agar pengukuran ditunda sebelum ada kesepakatan.

"Jadi tanah milik Raja Bius adalah jelas dan tidak ada hak siapa pun di sana. Tetapi, kalau sudah orang kehutanan memberikan kepada otorita, saya kira seharusnya orang kehutanan datang ke Bius bukan orang Otorita. Jadi mohon maaf, orang itorita juga mendengarlah dulu, soalnya Orang Motung sudah siap tetes darah,"tegasnya dalam pertemuan Maret lalu.

Dikutip dari Tribun Medan