Warga Batak Apresiasi Rencana Festival Tortor dan Tumba untuk Sosialisasi Geopark Danau Toba
Sejumlah warga Batak dari berbagai kalangan pengusaha, politisi, profesional dan wanita di Medan menyatakan apresiasi atas rencana pelaksanaan Festival Tortor & Tumba (tarian khas Batak Toba) di Humbang Hasundutan (Bakkara) dan Tapanuli Utara (Muara) pada 20 dan 21 Februari mendatang. Acara tersebut diharapkan bisa menjadi momen pemulihan sikap orang Batak untuk kembali satu langkah dan satu irama dalam kehidupan bermasyarakat.
Wakil Ketua Tim Ahli Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah (TAP-PBD) Provinsi Sumut Drs S Is Sihotang MM dan tokoh peduli lingkungan dan senibudaya Batak Nelson Matondang menyatakan, para generasi 'Orang Batak' di manapun berada saat ini, hendaknya tetap eksis dan peduli dengan nilai-nilai seni termasuk seni tari yang mengandung aspek karakter dasar positif kaum Batak.
"Ada dua nilai positif yang bisa kita peroleh atau kita wujudkan dari pelaksanaan Festival Tortor dan Tumba yang akan digelar ini. Pertama, festival itu bisa dijadikan salah satu momen pengingatan bahwa sesungguhnya orang Batak dulunya bisa kompak 'satu langgam irama' dan satu langkah, sebagaimana diingatkan penulis Batak Walter Bonar Sidjabat dalam bukunya 'Ahu Sisingamangaraja'. Kedua, melalui festival ini mari kita jadikan seni tari itu sebagai bagian dari aktifitas pelestarian budaya sekaligus untuk promosi wisata Danau Toba, tak hanya untuk program Danau Toba menuju status Geopark Dunia," ujar S Is. Sihotang kepada pers di Medan, Selasa petang (3/2) .
Dia mengutarakan hal itu seusai rapat dan diskusi rencana pelaksanaan Festival Tortor dan Tumba, yang digelar dan dipimpin DR RE Nainggolan MM, di aula manajemen Royal Prima Hospital Medan.
Sembari menunjukkan SK Gubsu tentang kepengurusan TAP-PBD tersebut, Sihotang yang juga mantan Kepala Dinas Pariwisata Sumut itu secara khusus menunjukkan referensi dari buku 'Ahu Sisingamangaraja' karya WB Sidjabat, khususnya Bab III poin -1 di halaman 68 alinea ke-4, tentang (sub-Bab) Persoalan Heterogenitas dan Homogenitas dalam Kesatuan Masyarakat Batak.
Menurutnya, Orang Batak selama ini terjebak dalam fenomena ego sektoral yang digambarkan dengan aksi gerak tari Keberdiri sendirian dengan langgam masing-masing. Ini sangat berbeda dengan gerakan tari pada etnis Batak lainnya yang tampak dan terus seragam dan seirama.
Padahal, menurut WB Sidjabat dalam buku tersebut, gerak atau langgam 'keberdiri sendirian' yang terkesan warisan sifat radja- radja Toba itu, sebenarnya harus menyatu langgam dan iramanya sesuai alunan dan tuntunan musik pada gondang.
"Apa yang ditulis WB Sidjabat di buku ini, tentu tak terlepas dari fakta bahwa gerak sendiri-sendiri yang tergambar dalam tarian itu juga menunjukkan kita, termasuk orang Batak jadi lupa dengan kebersamaan. Akibatnya, banyak kita orang Batak tak lagi hanya memandang kualitas dari seseorang yang punya popularitas dan kapasitas, tapi juga sudah memandang isi-ni-tas alias hepeng (uang di dalam tas), terutama pada saat jelang Pilkada," ujar Sihotang menyebutkan istilah '3 Tas' yang fenomenal saat ini.
Hal senada juga dicetuskan Nelson Matondang selaku pengurus salah satu kumpulan pecinta seni dan artis Batak di Medan, bahwa insan Batak sedikit banyaknya perlu belajar dari ajaran praktik 'Tao' (tokoh peradaban Cina), tentang komunitas masyarakat yang menolak kemewahan, tidak menonjolkan diri, selalu mampu bertahan.
"Tak ada atau tak tampak kemewahan seseorang, bukan penonjolan diri, dan mampu bertahan lelah atau lama, itulah yang sebenarnya terbersit pada nilai tortor. Dalam tarian itu yang tampak adalah kebersamaan satu gerak untuk satu tujuan dari orang-orang yang berbeda marga atau huta (kampungnya). Mereka bersatu menggalang kekompakan dan memuja Tuhan (Debata). Jadi, tarian Batak itu bukan sekedar tarian tampilan saja. Ke depan, semua tarian Batak itu perlu ditampilkan rutin dalam berbagai forum acara sebagai eksistensi karakter dan pelestarian nilai solidaritas Batak itu sendiri," ujar Nelson, disaksikan rekannya Dr Ir Daulat Situmorang, salah satu pengurus inti (tokoh) marga Situmorang di Medan.
Selain rutin, pelaksanaan aneka aksi seni budaya tari tradisional berupa festival atau parade atau tampilan normatif di masa mendatang, juga dinilai Nelson sangat efektif menjadi forum dan ajang pertemuan dan penghimpunan para 'orang Batak' untuk kekompakan nantinya. Untuk ini, Nelson menyatakan siap menjadi salah satu fasilitatornya, bersama para tokoh Batak lainnya yang peduli 'Bona Pasogit' dan Danau Toba.